Umur Sana sudah hampir setengah tahun. Usia lucu-lucunya. Ia menjadi pemudar
lelah, letih, dan penyegar pikiran bagi kami, kedua orang tuanya, setiap kali pulang
kerja. Sebenarnya, aku ingin ajak tinggal bersamaku sembari menjaga dan
mengasuh Sana. Tokh, di kampung juga lebih banyak sendiri. Usianya terlalu
sepuh untuk mondar-mandir meski sekedar ke tetangga. Bapak sendiri sudah wafat 1 tahun lalu setelah Hartin, adik bungsuku,
lahir.
Untunglah Hartin juga
sudah bekerja. Namun ia lebih sering pulang larut. Makanya, kupikir baiknya ibu
tinggal bersamaku, maka Ibu tidak akan lagi kesepian. Ia bisa bermain dan
terhibur dengan kehadiran Sana. Lebih-lebih, di kampung Ibu juga sudah tidak
bekerja.
Mulanya, Ibu tidak
bersedia tinggal bersamaku di kota. Kami berdua kerap memintanya berhenti jadi
pedagang. Soal uang biar kami yang menggenapi. Buat apa susah-susah cari uang, wong anak-anaknya juga sudah punya kerja
semua. Sudah mampu membiayai hidupnya! Namun Ibu bersikukuh mau cari uang
sendiri. Baginya, biarlah ia sendiri yang mencukupi dirinya sendiri, tanpa
harus merepotkan anak-anaknya.
Aku dan suami akhirnya memutuskan
mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama
bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih
muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.
******
Sejak sebelum Sana dilahirkan,
kami sudah berembug soal bagaimana cara mengasuh bayi kami jika nanti sudah
lahir. Suamiku memintaku mengurangi aktivitas mengajar, atau kalau perlu
berhenti saja secara total. Sebab, ia ingin Sana nantinya tidak dibesarkan oleh
seorang pengasuh. Lagi-lagi, suami menyerah setelah kembali kuutarakan
kesepakatan yang kami buat semasa pacaran. Untunglah, ketika ibu belum bersedia
ke kota, datang Ipah sebagai pengasuh anak kami.
Ipah orangnya cekatan. Sebab,
sepulang kantor, nyatanya dia tak hanya mengasuh anak kami. Tetapi juga membuat
rapi dan bersih seluruh isi rumah. Tanpa diminta ia melakukannya. Bahkan,
termasuk mencuci baju kami. Ia hanya bertahan 2,5 bulan mengasuh anak. Aku meminta
suami agar memberhentikannya.
“Mengapa? Apakah ia
sudah berbuat salah?” aku menggeleng. “Kupikir ayah benar, anak mestinya nggak
diasuh orang lain. Betul kan? Bagaimana kalau yang mengasuh Sana adalah Ibuku?”
Suamiku terdiam, sesaat kemudian dia mengangguk-angguk. “Terserah Bunda sajalah.
Kalau menurutmu itu baik, ayah ikut saja..”
Suamiku
mungkin tidak menyangka alasan sebenarnya. Sebulan mengasuh anak kami, pelan-pelan
ia tampil beda. Ia mulai memakai baju seadanya. Keluar kamar mandi ia hanya
pake handuk, mengepel lantai memakai pakaian tidur. Mungkin ia melakukannya
tidak sengaja. Mungkin saja ia sudah menganggap rumah kami layaknya rumah
sendiri. Ipah memang sangat lugu dan polos. Ia juga hanya tamat SD.
Namun, gimana pun juga,
aku tetap merasa cemburu. Merasa takut perhatian suami tiba-tiba tertuju pada
Ipah. Aku sadar. Ini pikiran konyol, tetapi aku tetap tak bisa menutupi golakan
hati. Sebagai jaga-jaga, Ipah akan benar-benar berhenti jadi pengasuh,
diam-diam aku terus rayu Ibu biar tinggal bersama kami. Ibu baru berhasil luluh
manakala mendengar akan mengasuh anak kami. Kami pun menjemput Ibu sebelum Ipah
pergi dari rumah kami.
******
Semakin beranjak usia,
semakin terlihat adanya kemiripan Sana dengan kedua orang tuanya. Kami sering
membanding-bandingkan di mana saja kemiripannya dengan kami berdua. Kurasa dua
bola mata Sana sangat mirip ayahnya. Kata orang-orang, alisnya yang tebal
menyerupai alisku, bundanya. Tetapi rambutnya tak ada yang mirip kami berdua.
Rambut Sana lurus. Hitam, dan kuat. Sementara, rambutku tidak lurus, tetapi
bergelombang. Dan rambut ayahnya sedikit keriting.
“Itu lebih mirip rambut
ibu,” kata Hartin, adik di bawahku ketika datang ke rumah kami. Hartin memang
benar, tetapi rambut ibu tidak sehitam rambut Sana. Kami seringkali tertawa
jika sudah berbincang yang khas-khas dari bayi kami. Maklum, Sana merupakan
anak pertamaku. Cucu pertama ibu, karena aku adalah anak sulung. Adikku meski
sudah usia 28 tahun, tetapi dia belum juga menikah. Padahal, dia sudah
gonta-ganti pacar sampai tujuh kali.
Wajar, dia memiliki
wajah yang cantik, juga manis. Walaupun aku sendiri menikah di usia 31 tahun,
tetapi aku pacaran ya cuma sama suamiku yang sekarang. Kami menikah setelah aku
selesai magister ekonomi di perguruan tinggi di Jogjakarta. Baru setelah
berhasil lolos diterima menjadi dosen, aku menyatakan siap menikah. Suamiku
sendiri adalah seorang dokter.
Sebagai sepasang
suami-istri yang sama-sama bekerja dan meniti karir, kesibukan padat, dan
sama-sama pulang malam, menjadikan kami tidak sempat memiliki waktu panjang
yang banyak. Terlebih, suami terkadang mendapat tugas dinas luar kota.
“Sebenarnya, ayah pengen
bunda mengurangi aktivitas mengajar. Cukuplah ayah yang sibuk. Mencari tambahan
nafkah. Tokh secara penghasilan kan gaji ayah sudah lebih dari cukup? ” kata
suamiku suatu hari.
“Apa sudah lupa
kesepakatan yang ayah buat sendiri sebelum menikah?” kataku balik bertanya. Ia
tertegun. Lama ia berdiam diri. Aku mesam-mesem.
Itulah kata kunci setiap kali dia pertanyakan soal waktuku. Sebab, itu bukanlah
suatu pertanyaan yang pertama. Sudah berkali-kali. Dan jawaban itu selalu
berhasil menghapus pertanyaan dia selanjutnya. Tentu ia sadar, dulu aku
menerimanya karena dia bersedia menerimaku apa adanya. Menerima diriku yang
mungkin tak seperti wanita lain. Waktuku yang habis buat kuliah, buat mencari
ilmu dan terlibat dalam beberapa aktivitas organisasi.
“Ayah tetap ingat
kesepakatan itu. Ayah hanya rindu kita memiliki waktu kebersamaan yang lebih
banyak. Ingin sepulang kerja ada yang menyambutku dengan pelukan hangat. Ingin
setiap kali pulang kerja, melihatmu tampil segar-bugar. Penuh senyuman.
Lagipula, kan masih bisa ikut kegiatan selain dunia karir?” katanya sembari
bertanya lirih. Aku menahan napas. Ada yang membuncah di dada, serasa ingin
tumpah. Tetapi jika aku mengiyakannya, tentu akan berpengaruh pada profesiku
sebagai seorang dosen.
Kudengar suamiku menarik
napas. Tatapan matanya kosong, terlempar hingga ke halaman rumah. Aku tak tahu
apa yang dirasakannya. “Setiap kali pulang kerja, selalu saja aku melihatmu
lelah. Terlelap. Dan keesokan harinya, belum sempat kita bicara, sudah terancam
waktu mengajarmu. Aku memang tak bisa memintamu mengamini keinginanku. Ini
hanya cuma soal isi hatiku saja..” tambahnya. Aku hanya bisa menunduk saja kala
itu.
“Melamun mbak? Kok
kayaknya serius banged???” aku terhenyak. Hartin tertawa lebar. Malu juga
ketahuan sedang melamun. Hartin tiba-tiba beranjak dari kasur. “Eh, Ibu nggak
kelihatan sedari tadi mbak?” tanyanya. Sewaktu
sampai di rumah, Hartin memang tidak langsung ketemu Ibu. Melihatku sedang
menggendong Sana, ia langsung minta ganti menggendong.
“Jam segini, ya sudah
tidur Hartin..” sahutku. Maklum, Hartin tiba sehabis Isya. Sementara Ibu
selepas shalat isya, langsung istirahat setelah seharian mengurus Sana. Aku
sendiri segera setelah pulang kerja, sudah kujadwal bahwa waktu-waktu yang
sedikit itu harus lebih banyak bersama Sana.
“Ibu pastinya lelah Tin.
Kan seharian bersama Sana..” tambahku. Hartin manggut-manggut. Ia kemudian
batuk-batuk, lalu kembali duduk di atas sisi ranjang. Raut mukanya tampak
murung.
“Kenapa Tin? Apa sedang
ada masalah?” tanyaku. Hartin menggeleng.
“Sampai kita sama-sama
dewasa begini, kita masih terus merepotkan Ibu ya?” katanya lirih seperti
sedang bicara dengan diri sendiri. “Waktu Ibu masih di kampung bersamaku, aku
tak merawatnya dengan baik. Mengurus makanannya, bajunya, atau membantunya di
dapur. Bahkan, masak pun, Ibu yang memasakkannya! Sementara aku, selepas kerja
tinggal makan saja. Aku menyadari setelah ibu bersamamu..”
Hartin tiba-tiba
terisak. Matanya sembab. Aku terdiam bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Terlebih,
setelah aku sendiri sadar akan kebenaran ucapan Hartin. Ya Hartin benar. Sejak
mulai dari dalam kandungan Ibu melayani kami berdua tanpa Ayah, bekerja mencari
nafkah untuk kami. Dan, bahkan saat ini pun, ketika aku punya anak, Ibu masih
terus melayani aku, anaknya. Lantas, kapan saatnya aku melayani dan
membahagiakan Ibu?[]