menulis dengan jernih

3.06.2020

Pengasuh Anak Kami


  
Umur Sana sudah hampir setengah tahun. Usia lucu-lucunya. Ia menjadi pemudar lelah, letih, dan penyegar pikiran bagi kami, kedua orang tuanya, setiap kali pulang kerja. Sebenarnya, aku ingin ajak tinggal bersamaku sembari menjaga dan mengasuh Sana. Tokh, di kampung juga lebih banyak sendiri. Usianya terlalu sepuh untuk mondar-mandir meski sekedar ke tetangga. Bapak sendiri sudah wafat 1 tahun lalu setelah Hartin, adik bungsuku, lahir.
            Untunglah Hartin juga sudah bekerja. Namun ia lebih sering pulang larut. Makanya, kupikir baiknya ibu tinggal bersamaku, maka Ibu tidak akan lagi kesepian. Ia bisa bermain dan terhibur dengan kehadiran Sana. Lebih-lebih, di kampung Ibu juga sudah tidak bekerja.
            Mulanya, Ibu tidak bersedia tinggal bersamaku di kota. Kami berdua kerap memintanya berhenti jadi pedagang. Soal uang biar kami yang menggenapi. Buat apa susah-susah cari uang, wong anak-anaknya juga sudah punya kerja semua. Sudah mampu membiayai hidupnya! Namun Ibu bersikukuh mau cari uang sendiri. Baginya, biarlah ia sendiri yang mencukupi dirinya sendiri, tanpa harus merepotkan anak-anaknya.
            Aku dan suami akhirnya memutuskan mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.
             
******
            Sejak sebelum Sana dilahirkan, kami sudah berembug soal bagaimana cara mengasuh bayi kami jika nanti sudah lahir. Suamiku memintaku mengurangi aktivitas mengajar, atau kalau perlu berhenti saja secara total. Sebab, ia ingin Sana nantinya tidak dibesarkan oleh seorang pengasuh. Lagi-lagi, suami menyerah setelah kembali kuutarakan kesepakatan yang kami buat semasa pacaran. Untunglah, ketika ibu belum bersedia ke kota, datang Ipah sebagai pengasuh anak kami.
            Ipah orangnya cekatan. Sebab, sepulang kantor, nyatanya dia tak hanya mengasuh anak kami. Tetapi juga membuat rapi dan bersih seluruh isi rumah. Tanpa diminta ia melakukannya. Bahkan, termasuk mencuci baju kami. Ia hanya bertahan 2,5 bulan mengasuh anak. Aku meminta suami agar memberhentikannya.
            “Mengapa? Apakah ia sudah berbuat salah?” aku menggeleng. “Kupikir ayah benar, anak mestinya nggak diasuh orang lain. Betul kan? Bagaimana kalau yang mengasuh Sana adalah Ibuku?” Suamiku terdiam, sesaat kemudian dia mengangguk-angguk. “Terserah Bunda sajalah. Kalau menurutmu itu baik, ayah ikut saja..”
            Suamiku mungkin tidak menyangka alasan sebenarnya. Sebulan mengasuh anak kami, pelan-pelan ia tampil beda. Ia mulai memakai baju seadanya. Keluar kamar mandi ia hanya pake handuk, mengepel lantai memakai pakaian tidur. Mungkin ia melakukannya tidak sengaja. Mungkin saja ia sudah menganggap rumah kami layaknya rumah sendiri. Ipah memang sangat lugu dan polos. Ia juga hanya tamat SD.
            Namun, gimana pun juga, aku tetap merasa cemburu. Merasa takut perhatian suami tiba-tiba tertuju pada Ipah. Aku sadar. Ini pikiran konyol, tetapi aku tetap tak bisa menutupi golakan hati. Sebagai jaga-jaga, Ipah akan benar-benar berhenti jadi pengasuh, diam-diam aku terus rayu Ibu biar tinggal bersama kami. Ibu baru berhasil luluh manakala mendengar akan mengasuh anak kami. Kami pun menjemput Ibu sebelum Ipah pergi dari rumah kami.  
            ******
           
            Semakin beranjak usia, semakin terlihat adanya kemiripan Sana dengan kedua orang tuanya. Kami sering membanding-bandingkan di mana saja kemiripannya dengan kami berdua. Kurasa dua bola mata Sana sangat mirip ayahnya. Kata orang-orang, alisnya yang tebal menyerupai alisku, bundanya. Tetapi rambutnya tak ada yang mirip kami berdua. Rambut Sana lurus. Hitam, dan kuat. Sementara, rambutku tidak lurus, tetapi bergelombang. Dan rambut ayahnya sedikit keriting.
            “Itu lebih mirip rambut ibu,” kata Hartin, adik di bawahku ketika datang ke rumah kami. Hartin memang benar, tetapi rambut ibu tidak sehitam rambut Sana. Kami seringkali tertawa jika sudah berbincang yang khas-khas dari bayi kami. Maklum, Sana merupakan anak pertamaku. Cucu pertama ibu, karena aku adalah anak sulung. Adikku meski sudah usia 28 tahun, tetapi dia belum juga menikah. Padahal, dia sudah gonta-ganti pacar sampai tujuh kali.
            Wajar, dia memiliki wajah yang cantik, juga manis. Walaupun aku sendiri menikah di usia 31 tahun, tetapi aku pacaran ya cuma sama suamiku yang sekarang. Kami menikah setelah aku selesai magister ekonomi di perguruan tinggi di Jogjakarta. Baru setelah berhasil lolos diterima menjadi dosen, aku menyatakan siap menikah. Suamiku sendiri adalah seorang dokter.
            Sebagai sepasang suami-istri yang sama-sama bekerja dan meniti karir, kesibukan padat, dan sama-sama pulang malam, menjadikan kami tidak sempat memiliki waktu panjang yang banyak. Terlebih, suami terkadang mendapat tugas dinas luar kota.
            “Sebenarnya, ayah pengen bunda mengurangi aktivitas mengajar. Cukuplah ayah yang sibuk. Mencari tambahan nafkah. Tokh secara penghasilan kan gaji ayah sudah lebih dari cukup? ” kata suamiku suatu hari.
            “Apa sudah lupa kesepakatan yang ayah buat sendiri sebelum menikah?” kataku balik bertanya. Ia tertegun. Lama ia berdiam diri. Aku mesam-mesem. Itulah kata kunci setiap kali dia pertanyakan soal waktuku. Sebab, itu bukanlah suatu pertanyaan yang pertama. Sudah berkali-kali. Dan jawaban itu selalu berhasil menghapus pertanyaan dia selanjutnya. Tentu ia sadar, dulu aku menerimanya karena dia bersedia menerimaku apa adanya. Menerima diriku yang mungkin tak seperti wanita lain. Waktuku yang habis buat kuliah, buat mencari ilmu dan terlibat dalam beberapa aktivitas organisasi.
            “Ayah tetap ingat kesepakatan itu. Ayah hanya rindu kita memiliki waktu kebersamaan yang lebih banyak. Ingin sepulang kerja ada yang menyambutku dengan pelukan hangat. Ingin setiap kali pulang kerja, melihatmu tampil segar-bugar. Penuh senyuman. Lagipula, kan masih bisa ikut kegiatan selain dunia karir?” katanya sembari bertanya lirih. Aku menahan napas. Ada yang membuncah di dada, serasa ingin tumpah. Tetapi jika aku mengiyakannya, tentu akan berpengaruh pada profesiku sebagai seorang dosen.
            Kudengar suamiku menarik napas. Tatapan matanya kosong, terlempar hingga ke halaman rumah. Aku tak tahu apa yang dirasakannya. “Setiap kali pulang kerja, selalu saja aku melihatmu lelah. Terlelap. Dan keesokan harinya, belum sempat kita bicara, sudah terancam waktu mengajarmu. Aku memang tak bisa memintamu mengamini keinginanku. Ini hanya cuma soal isi hatiku saja..” tambahnya. Aku hanya bisa menunduk saja kala itu.
            “Melamun mbak? Kok kayaknya serius banged???” aku terhenyak. Hartin tertawa lebar. Malu juga ketahuan sedang melamun. Hartin tiba-tiba beranjak dari kasur. “Eh, Ibu nggak kelihatan sedari tadi mbak?” tanyanya.  Sewaktu sampai di rumah, Hartin memang tidak langsung ketemu Ibu. Melihatku sedang menggendong Sana, ia langsung minta ganti menggendong.
            “Jam segini, ya sudah tidur Hartin..” sahutku. Maklum, Hartin tiba sehabis Isya. Sementara Ibu selepas shalat isya, langsung istirahat setelah seharian mengurus Sana. Aku sendiri segera setelah pulang kerja, sudah kujadwal bahwa waktu-waktu yang sedikit itu harus lebih banyak bersama Sana.
            “Ibu pastinya lelah Tin. Kan seharian bersama Sana..” tambahku. Hartin manggut-manggut. Ia kemudian batuk-batuk, lalu kembali duduk di atas sisi ranjang. Raut mukanya tampak murung.
            “Kenapa Tin? Apa sedang ada masalah?” tanyaku. Hartin menggeleng.
            “Sampai kita sama-sama dewasa begini, kita masih terus merepotkan Ibu ya?” katanya lirih seperti sedang bicara dengan diri sendiri. “Waktu Ibu masih di kampung bersamaku, aku tak merawatnya dengan baik. Mengurus makanannya, bajunya, atau membantunya di dapur. Bahkan, masak pun, Ibu yang memasakkannya! Sementara aku, selepas kerja tinggal makan saja. Aku menyadari setelah ibu bersamamu..”
            Hartin tiba-tiba terisak. Matanya sembab. Aku terdiam bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Terlebih, setelah aku sendiri sadar akan kebenaran ucapan Hartin. Ya Hartin benar. Sejak mulai dari dalam kandungan Ibu melayani kami berdua tanpa Ayah, bekerja mencari nafkah untuk kami. Dan, bahkan saat ini pun, ketika aku punya anak, Ibu masih terus melayani aku, anaknya. Lantas, kapan saatnya aku melayani dan membahagiakan Ibu?[]

Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support