menulis dengan jernih

3.06.2020

Batu Bertuah


            
 
Orang-orang makin banyak berdesakan. Wajah Ali tambah lelah. Entah sudah beberapa jam, berapa hari, dan akan berapa lama lagi akan selalu seperti ini. Sampai kapan semuanya akan berakhir? Oh, betapa dirinya sudah sangat lelah. Ia ingin seperti dulu yang bebas bermain. Main petak umpet atau main bola di lapangan desa yang selalu becek berat jika hujan turun. Entah apa sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh orang-orang dewasa itu. Ia sama sekali tak dapat mengerti.
Apa jangan-jangan dirinya memang terlalu kecil untuk mengerti kemauan dan pikiran orang-orang dewasa?
            “Ali!! Jangan hanya bengong, cepat layani tamu dengan baik!”
            Ali tersenyum kecut. Kembali ia fokus pada benda itu, dan mencelupkannya ke dalam air setiap kali orang-orang dewasa itu menyuruhnya. Selalu seperti itu. Setiap hari. Bukan. Bukan tiap hari, tapi sepanjang waktu. Orang-orang dewasa. Orang-orang dewasa yang sangat sulit dimengerti, apa kemauan mereka sebenarnya. Apakah kalau sudah dewasa, ia pun akan begitu? Seperti orang-orang dewasa itu? Ali kebayang hujan-hujanan sambil main bola yang sudah lama tak dilakukannya, tetapi sekarang ia hanya bisa main game saja di hape.
            “Hayo, jangan main hape terus!”
Lagi-lagi, orang dewasa menyentaknya, sembarimenggamit tangannya agar mencelupkan batu ke dalam air. Ia tidak sepenuhnya tahu, untuk apa sih batu berbentuk agak bulat itu dibegituin. Kata orang dewasa sih, itu batu ajaib. Kadang ia berpikir, apakah yang dimaksud dengan batu ajaib itu sama dengan yang pernah ia tonton  di sinetrin-sinetron televisi?
            Ali menarik napas. Nampaknya masih banyak orang yang akan bermunculan. Dari halaman rumah saja, tiga sampai lima orang terlihat menuju tempatnya duduk. Sementara yang duduk di ruang tamu saja sudah mencapai 15 orang.  Kini tangannya terasa kebas, begitu pula bokongnya yang terasa panas. Berapa jam sudah ia hanya duduk-diam?


            Semuanya berawal dari hujan yang deras minggu lalu. Hari itu siang menjelang sore. Bertujuh dengan teman-temannya, Ali tenggelam asyik bermain bola di lapangan desa. Jaraknya hanya setengah kilo saja dari rumahnya. Tak selang lama lalu turunlah hujan sederas-derasnya. Menambah larut saja mereka bermain. Hanya saja itu tak lama. Sebab tiba-tiba bergelegar guntur. Halilintar berkilat-kilat di kejauhan. Gemuruhnya mendebarkan tanah tempat mereka bermain. Muncullah orang-orang dewasa, mengingatkan mereka agar segera pulang. Ali dan teman-temannya cuek-bebek. Mereka terus saja bermain.
            Saat itulah, mamaknya datang. Menyuruhnya pulang. Ali segera bergegas. Ogah pulang.  Ia tahu, kalau tak segera menghindar, mereka akan memaksanya balik rumah. Padahal, ia masih sangat senang bermain-main dengan hujan, lumpur becek, dan suara-suara guntur. Apalagi penampakan kilat yang  menyambar-nyambar itu. Sungguh membuatnya terkesima. Rasanya, seperti sedang menonton akrobat.
            “Pulang Ali, pulang! Mau ke mana kamu?!!”
            Ali tak hirau berapa kali pun teriakan mamak. Ia memilih terus berlari menjauh. Tetapi Mamak rupanya masih mengejar juga di belakang.


            Bluk.. bukk!!
            Ali jatuh terjerembab. Seonggak batu seukuran kepalan tangan tersandung kakinya. Dengan kesal, ia memungut batu itu. Ia berencana menakut-nakuti mamak biar tak mengejarnya lagi, jadi dia bisa kembali bermain dengan aman.

            Blar!
            Blar, blarr!!
            Suara kilat mendadak menggema ke segala arah. Kilatan cahayanya menyambar-nyambar tidak karuan. Seolah-olah kilatan petir itu sedang berkiblat di hadapannya. Saking kaget, Ali lagi-lagi terjatuh. Dadanya terasa seperti ditikam pisau, sebab batu yang mulanya untuk pura-pura melempar mamak ikut jatuh dan menimpa dadanya. Kepalanya serasa berputar. Dan, ia pun tidak ingat apa-apa lagi. Ia pingsan.
            Ali terbangun dari pingsan. Ia memandang ke semua ruangan. Tak ada satu pun orang di sekitarnya. Tetapi ia sudah berganti pakaian. Entah apa yang sedang terjadi, ia sudah lupa. Tetapi di ruang tamu, ia menyaksikan sejumlah orang. Ramai sekali suara mereka. Suara ramai itu mendadak senyap begitu ia tiba di ruang tamu. Orang-orang memandangnya aneh. Ali garuk-garuk kepala. Di atas meja ia melihat sesuatu yang teronggok. Kedua matanya menyipit, ia baru ingat sekarang. Bukankah itu adalah batu yang membuatnya jatuh karena kesandung saat berhujan-hujan? Tetapi kenapa sekarang batu itu ada di atas meja?

            Sejak ia pingsan gegara jatuh sebab dikejar mamak saat berhujan-hujan, lalu dadanya ketimpa batu, orang-orang dewasa mulai memunculkan sikap-sikap aneh. Dan tentu saja, menyebalkan. Betapa tidak, ia selalu saja disuruh duduk diam begitu lama di ruang tamu. Menunggui kemunculan orang-orang yang terus saja berdatangan. Mulai dari yang berjumlah puluhan, ratusan hingga mungkin ribuan.
            “Hayo, ambil batunya nak. Celupkan di air panci itu,” begitu terus perintah mamak, setiap kali orang-orang dewasa itu berdatangan.
Entah ada apa dengan batu itu, sehingga orang-orang dewasa itu begitu menyukainya. Apa mungkin di dalamnya ada barang mainan yang sangat disukai orang-orang dewasa? Ali tidak tahu, yang jelas mereka seperti sangat menginginkannya. Sampai-sampai, mereka mau saja meminum air yang sudah dicelupin batu itu. Tetapi, yang lebih mengherankan bagi Ali, kenapa harus dirinya yang memegang dan mencelupkan batu itu ke dalam air untuk dibikin mainan oleh orang-orang dewasa. Ia ingin sekali marah, tapi setiap kali menatap mata orang dewasa, ia sangat ketakutan. Jangan-jangan mereka akan memukulinya?
            Begitulah setiap waktu. Ali mulai bimbang dan bosan. Sebulan lebih sudah ia duduk diam di ruang tamu, menunggu kemunculan orang-orang. Lalu ia mencelupkan batu itu ke masing-masing wadah air yang mereka bawa. Kadang ia berpikir, apakah kalau sudah dewasa nanti, ia pun akan menyukai batu sebagaimana orang-orang dewasa itu menyukainya?

            Tapi, ia kini merasa sangat bosan sekarang. Ia tidak tahu harus berkata apa pada orang-orang dewasa. Ia khawatir seperti yang sudah-sudah. Tapi ia benar-benar sumpek. Ia rindu ke sekolah, main petak umpet. Main hujan. HP di tangannya sudah tak bisa menahan keinginannya dari kebosanan. Ia merasa sangat marah sama orang-orang dewasa. Ia muak dengan orang-orang dewasa. Karena mereka, ia tidak bisa bertemu teman-teman dan bermain seperti biasa.
            “Ali, hayo yang serius!” kata orang dewasa berbisik. Dengan acuh ia memegang batu dan mengikuti gerakan tangan orang dewasa mencelupkan batu ke dalam air.
            “Ali, hayo tanganmu!” bisik mereka lagi dengan suara bentakan kecil. Dengan muka manyun, Ali bangun dan menuruti kemauan mereka. Ribuan orang dewasa berputar-putar bergiliran. Muak sekali dirinya melihat kumpulan mereka, orang-orang dewasa.
            Plazz!!
            Ali menumpahkan air ke wajah orang-orang dewasa. Kesal sekali ia sekarang. Aneh, ternyata orang dewasa itu tidak marah dengan aksinya. Mereka justru seperti senang dibegitukan. Ali menjadi jengkel, ketika seorang berseragam petugas menghampirinya, ia pun melampiaskan hatinya dengan menendang bahu petugas tersebut. Ali baru merasa puas, karena raut wajah petugas seperti tersinggung, namun seperti tidak berani melawan. Ali benar-benar puas. Orang dewasa ternyata takut pada dirinya. Hahaha!
            Ali makin senang. Ia makin senang mencipratkan air ke muka, menendang, dan berbuat sesukanya pada orang-orang dewasa.




Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support