Menyerupai
gelap yang menyelimuti malam, dan penggalan bulan yang meruncing di
atas langit. Menimbulkan bias-bias cahaya di beberapa ruang. Inspirasi
yang sempurna. Kurasa seperti itu. Rasaku padamu. Saat melihatmu
kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela
suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap
sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka.
Haruskah kubilang, pertemuan kita ini membuat cinta ini lebih mekar
ketimbang yang dulu?
“Kau
tahu? Sebuah pelukan darimu akan sangat berarti bagiku malam ini,”
katamu. Batinku serasa beraduk. Adakah kau merasakan perasaan yang sama
denganku? Kau menatapku. Napasku tersendat di dada. Tatapan mata itu.
Membuat diriku seakan tenggelam di dasar kedalaman laut. Perlahan aku
menata keluarnya napas yang tertunda.
“Aku
tahu. Ya, aku tahu. Kau tidak mungkin memelukku malam ini...” ucapmu
lagi. Mukamu tertunduk. Mengitari tebaran pasir. Tanganmu lantas
mengaduk-aduk pasir, dan menghempas-hempaskannya ke udara. Sebetulnya
nona, aku ingin sekali mengutarakan sejumlah tautan hatiku padamu. Namun
kerongkongan ini bak digandoli ketela satu karung. Lebih-lebih ketika
mukamu kau angkat ke atas. Butiran bening jatuh dari pipimu.
“Sungguh.
Tidakkah kau ingin memelukku?” katamu setelah itu. Kupejam mata
sekilas, deru napasku lagi-lagi tertahan di dada. Ada luapan-luapan yang
mustahil kuperlihatkan padamu. Apalagi, tanganmu tiba-tiba menggamit
tanganku. Jantungku berdenyut-denyut. “Aku betul-betul rindu sama kamu.
Aku, aku...” katamu sembari menahan sesungguk. Aku membiarkan dua
tanganmu menggegam telapak tanganku. Dengan bergetar kau cium tanganku.
“Aku
ingin memelukmu sekali saja...” kembali kau ulang permintaan itu,
sedang aku tetap memilih diam membeku. Sesunggukmu terhenti. Kau hapus
simbah airmatamu. Hanya napas yang kurasakan mengekang. Menggagalkan
setiap desir yang beruntun bergolak di dada. Aku ingin semua segera
memiliki akhir, yang paling terakhir.
“Baiklah. Kuutarakan saja padamu. Kuharap kau betul-betul mendengarkannya...”
“Tanpa
kau utarakan sekalipun, aku sudah mengetahuinya,” akhirnya untuk
pertama kalinya, aku memberimu sejumlah sahutan. “Kau pikir, hanya kamu
yang mengharapkan pertemuan yang tidak terduga ini?”
“Maksud kamu....”
Aku menganggukkan kepala sebelum kau meneruskan ucapan.
“Semua
itu sudah menjadi masa lalu,” kataku, “Namun nyatanya kita tidak
betul-betul mampu mengabaikannya dalam ingatan. Kamu juga setuju kan?”
kau pun lantas mengangguk. “Dan aku sadar, kalaupun kau ingin memelukku,
semata karena kerinduan seorang sahabat. Iya kan?” lagi-lagi kau
mengangguk. “Meskipun begitu, aku tetap bukan lelakimu. Dirimu pun bukan
perempuanku, suatu hal yang membuat sebuah pelukan tidak sah untuk kita
lakukan”.
“Mungkin
itu iya, namun tidak benar seluruhnya,” katamu menyahut. “Aku mencintai
lelakiku, namun hati lelakiku masih berbekas oleh perempuan yang
selainku. Itu sulit kuterima...”
“Lalu, mengapa sebuah pelukan ingin kau berikan untukku?”
“Itu...
itu... karena baru tersadar olehku. Betapa besar cintamu padaku di masa
itu. Namun, nyatanya kau selalu kuanggap angin lalu. Aku meninggalkanmu
dengan alasan aku tak pantas untukmu, sedang alasan sebenarnya? Karena
aku telah jatuh cinta pada lelaki yang lain. Ya, lelaki yang kini jadi
suamiku...”
Aku
menahan napas. Entahlah. Haruskah aku marah setelah mengetahui semua
alasan itu? Ingin kusanggah dirimu, namun urung kulakukan. Kulihat kau
masih ingin melanjutkan perkataan. Mungkin seharusnya aku mengalah, dan
membiarkannya untuk terus berbicara lebih banyak dariku.
“Dan
sekarang?” lanjutmu kemudian, “Saat aku mencintai seseorang, dan aku
berhasil memilikinya? Ternyata baru kusadari bahwa memiliki orang yang
kita cintai, tidak otomatis memiliki jiwanya, juga perasaannya. Suamiku
memang tidak pernah selingkuh, tetapi apalah arti memiliki? Sekiranya
batinnya gagal kumiliki?”
“Ya.
Aku pun sempat merasakan hal seperti itu. Memiliki seseorang, namun
hatinya dimiliki oleh orang lain...” aku menimpali. Kau langsung
tertunduk. Kembali sesunggukan. Kembali juga kau genggam tanganku dengan
erat.
“Pelukan
itu adalah bentuk penyesalan dariku. Aku ingin kau memaafkanku, yang
telah melukaimu di masa silam...” sahutmu. Aku mengangkat wajahmu.
Kemudian memintamu melihatku. “Kembalilah pada suamimu. Dia butuh
kamu...” kataku. “Rasa bersalahmu padaku selama ini, sebetulnya itulah
yang telah menjadikan suamimu kembali terkenang-kenang lagi oleh
mantan-nya yang sebelum kamu itu...”
Kau
terhenyak, seperti kaget dengan kalimatku. Kedua matamu tiba-tiba
menyipit. Membuat dua alis tebalmu menyatu. “Ma... mak.,, sudmu???”
“Rasa
bersalahmu itu, diam-diam telah membuat pikiranmu terforsir kepikiran
aku, ketimbang kepikiran tentang suamimu. Itu secara tidak langsung
dapat membuat suamimu kehilangan tempat bersandar, sehingga ia membuat
masa lalunya sebagai pelarian yang menyenangkan...” kataku dengan
kalimat yang panjang. Kuharap pertemuan segera berakhir.
Sebab apa? Karena aku sadar, bertemu mantan itu menyimpan dua sisi; sekelumit keindahan nostalgia, yang seringkali berakhir kemelut. (Wonocolo, 2016)
Sebab apa? Karena aku sadar, bertemu mantan itu menyimpan dua sisi; sekelumit keindahan nostalgia, yang seringkali berakhir kemelut. (Wonocolo, 2016)