menulis dengan jernih

3.08.2020

'Dear Mantan'


Menyerupai gelap yang menyelimuti malam, dan penggalan bulan yang meruncing di atas langit. Menimbulkan bias-bias cahaya di beberapa ruang. Inspirasi yang sempurna. Kurasa seperti itu. Rasaku padamu. Saat melihatmu kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka. Haruskah kubilang, pertemuan kita ini membuat cinta ini lebih mekar ketimbang yang dulu?

“Kau tahu? Sebuah pelukan darimu akan sangat berarti bagiku malam ini,” katamu. Batinku serasa beraduk. Adakah kau merasakan perasaan yang sama denganku? Kau menatapku. Napasku tersendat di dada. Tatapan mata itu. Membuat diriku seakan tenggelam di dasar kedalaman laut. Perlahan aku menata keluarnya napas yang tertunda.

“Aku tahu. Ya, aku tahu. Kau tidak mungkin memelukku malam ini...” ucapmu lagi. Mukamu tertunduk. Mengitari tebaran pasir. Tanganmu lantas mengaduk-aduk pasir, dan menghempas-hempaskannya ke udara. Sebetulnya nona, aku ingin sekali mengutarakan sejumlah tautan hatiku padamu. Namun kerongkongan ini bak digandoli ketela satu karung. Lebih-lebih ketika mukamu kau angkat ke atas. Butiran bening jatuh dari pipimu.

“Sungguh. Tidakkah kau ingin memelukku?” katamu setelah itu. Kupejam mata sekilas, deru napasku lagi-lagi tertahan di dada. Ada luapan-luapan yang mustahil kuperlihatkan padamu. Apalagi, tanganmu tiba-tiba menggamit tanganku. Jantungku berdenyut-denyut. “Aku betul-betul rindu sama kamu. Aku, aku...” katamu sembari menahan sesungguk. Aku membiarkan dua tanganmu menggegam telapak tanganku. Dengan bergetar kau cium tanganku.

“Aku ingin memelukmu sekali saja...” kembali kau ulang permintaan itu, sedang aku tetap memilih diam membeku. Sesunggukmu terhenti. Kau hapus simbah airmatamu. Hanya napas yang kurasakan mengekang. Menggagalkan setiap desir yang beruntun bergolak di dada. Aku ingin semua segera memiliki akhir, yang paling terakhir.

“Baiklah. Kuutarakan saja padamu. Kuharap kau betul-betul mendengarkannya...”
“Tanpa kau utarakan sekalipun, aku sudah mengetahuinya,” akhirnya untuk pertama kalinya, aku memberimu sejumlah sahutan. “Kau pikir, hanya kamu yang mengharapkan pertemuan yang tidak terduga ini?”
“Maksud kamu....”

Aku menganggukkan kepala sebelum kau meneruskan ucapan.

“Semua itu sudah menjadi masa lalu,” kataku, “Namun nyatanya kita tidak betul-betul mampu mengabaikannya dalam ingatan. Kamu juga setuju kan?” kau pun lantas mengangguk. “Dan aku sadar, kalaupun kau ingin memelukku, semata karena kerinduan seorang sahabat. Iya kan?” lagi-lagi kau mengangguk. “Meskipun begitu, aku tetap bukan lelakimu. Dirimu pun bukan perempuanku, suatu hal yang membuat sebuah pelukan tidak sah untuk kita lakukan”.

“Mungkin itu iya, namun tidak benar seluruhnya,” katamu menyahut. “Aku mencintai lelakiku, namun hati lelakiku masih berbekas oleh perempuan yang selainku. Itu sulit kuterima...”

“Lalu, mengapa sebuah pelukan ingin kau berikan untukku?”
“Itu... itu... karena baru tersadar olehku. Betapa besar cintamu padaku di masa itu. Namun, nyatanya kau selalu kuanggap angin lalu. Aku meninggalkanmu dengan alasan aku tak pantas untukmu, sedang alasan sebenarnya? Karena aku telah jatuh cinta pada lelaki yang lain. Ya, lelaki yang kini jadi suamiku...”

Aku menahan napas. Entahlah. Haruskah aku marah setelah mengetahui semua alasan itu? Ingin kusanggah dirimu, namun urung kulakukan. Kulihat kau masih ingin melanjutkan perkataan. Mungkin seharusnya aku mengalah, dan membiarkannya untuk terus berbicara lebih banyak dariku.

“Dan sekarang?” lanjutmu kemudian, “Saat aku mencintai seseorang, dan aku berhasil memilikinya? Ternyata baru kusadari bahwa memiliki orang yang kita cintai, tidak otomatis memiliki jiwanya, juga perasaannya. Suamiku memang tidak pernah selingkuh, tetapi apalah arti memiliki? Sekiranya batinnya gagal kumiliki?”

“Ya. Aku pun sempat merasakan hal seperti itu. Memiliki seseorang, namun hatinya dimiliki oleh orang lain...” aku menimpali. Kau langsung tertunduk. Kembali sesunggukan. Kembali juga kau genggam tanganku dengan erat.

“Pelukan itu adalah bentuk penyesalan dariku. Aku ingin kau memaafkanku, yang telah melukaimu di masa silam...” sahutmu. Aku mengangkat wajahmu. Kemudian memintamu melihatku. “Kembalilah pada suamimu. Dia butuh kamu...” kataku. “Rasa bersalahmu padaku selama ini, sebetulnya itulah yang telah menjadikan suamimu kembali terkenang-kenang lagi oleh mantan-nya yang sebelum kamu itu...”

Kau terhenyak, seperti kaget dengan kalimatku. Kedua matamu tiba-tiba menyipit. Membuat dua alis tebalmu menyatu.  “Ma... mak.,, sudmu???”

“Rasa bersalahmu itu, diam-diam telah membuat pikiranmu terforsir kepikiran aku, ketimbang kepikiran tentang suamimu. Itu secara tidak langsung dapat membuat suamimu kehilangan tempat bersandar, sehingga ia membuat masa lalunya sebagai pelarian yang menyenangkan...” kataku dengan kalimat yang panjang. Kuharap pertemuan segera berakhir.

Sebab apa? Karena aku sadar, bertemu mantan itu menyimpan dua sisi; sekelumit keindahan nostalgia, yang seringkali berakhir kemelut. (Wonocolo,  2016)
Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support