3.06.2020
Mengenang Sang Guru, KH. Aziz Masyhuri
Inspirasi dan Keteladanan sang Guru
"Belakangan ini, waktu-waktunya beliau lebih banyak dihabiskan untuk membaca dan terus menulis. Saya cukup senang beliau bisa lebih banyak istrahat di rumah..." Nyai Hj. Azizah Aziz Bisri
Sore belum benar-benar mereda, saat tiba di Pondok Pesantren Al-Aziziyah. Sejumlah alumni juga sudah berkumpul di masjid. Ini adalah kali kedua saya sowan ke Yai Aziz Masyhuri di bangunan pesantrennya yang baru. Sowan yang pertama kali adalah di saat ada gelar muktamar NU tahun sebelumnya. Berhubung beliau masih istirahat, kami ditemui oleh bu Nyai Aziz. Kami pun terlibat obrolan lepas sampai lebih dua jam lamanya.
Sebanyak apapun obrolan yang beliau bincangkan, hanya satu ucapan beliau yang betul-betul paling saya rindukan sejak masih di Madura dan belum menyentuh tanah Jawa, yaitu soal kecintaan beliau dalam soal menulis dan berkarya. "Belakangan ini, waktu-waktunya beliau lebih banyak dihabiskan untuk membaca dan terus menulis. Saya cukup senang beliau bisa lebih banyak istrahat di rumah..." begitu Nyai Aziz bercerita. Itu adalah ucapan yang melebihi jimat paling keramat bagi saya sendiri.
Barangkali cukup wajar jika saya selalu rindu hobi Yai yang satu ini. Wajar juga jika sejak awal masuk jadi santri, hal yang mula-mula menarik perhatian saya adalah kekhusyukan dan kekuatan beliau untuk duduk lama, baik di rumah beliau, maupun saat sedang menghabiskan waktu di ruang perpustakaan asrama. Membaca dan membaca. Menulis dan terus menulis dengan khidmatnya. Terasa pemandangan sepele, tetapi bagi saya yang sejak kecil suka menulis, tentu itu lebih dari sekedar apa yang kelihatan.
Sekalipun senang menulis sejak usia Sekolah Dasar (SD), tetapi sejauh itu saya belajar menulis secara naluriah saja, alias otodidak. Tidak ada yang menyuruh atau memberi bimbingan. Sejauh itu, saya menulis tidak lebih hanya sebagai kepuasan saat bisa menjelaskan sesuatu dalam bentuk tulisan. Makanya, ketika bisa menemukan sosok yang bisa dijadikan sebagai sandara inspirasi, bak menemukan harta karun tak ternilai.
Untuk pertama kalinya, saya merasa menemukan sosok idola yang mampu memberi kekuatan inspirasi. Sejak saat itu, saya mulai menyadari betapa menulis itu bukan hanya sambil lalu. Tetapi suatu warna hidup yang menakjubkan. Hal itu juga yang memunculkan tekad dan semangat agar lebih serius mengasah kemampuan. Sejak awal saya tidak pernah berpikir bahwa menulis itu butuh ketekunan, harus terus belajar dan harus melahirkan karya sebagai puncak kepuasan.
Ketika kuliah, tekad tersebut menggerakkan saya untuk terjun di dunia jurnalistik dan selanjutnya mencoba sensasi bekerja di penerbitan. Walau berkali-kali gagal menerbitkan karya, tetapi selalu saja muncul hasrat untuk terus mengulang tekad untuk terus mengalirkannya kembali. Sampai benar-benar berhasil. Apalagi jika mengingat betapa nikmatnya jika sebuah tulisan sudah bisa menjelma menjadi sebuah buku, dan dibaca banyak orang.
Meskipun belum melahirkan karya, bagaimanapun saya tidak pernah terpikir, kelak bakal betul-betul serius menekuni sesuatu yang awalnya hanya hobi saja itu. Tetapi cukup lega juga. Sekalipun belum menghasilkan karya, minimalnya tekad tersebut bisa mengantarkan saya ke tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya sebagai orang yang mencinta dunia tulisan sejak kecil. Berkat dorongan itu, saya bisa menjadi editor dan terjun serius di dunia jurnalistik.
Mungkin ada benarnya juga. Untuk meraih mimpi, kita memerlukan seseorang yang mampu menjadi alat penggerak. Penggerak motivasi dan inspirasi. Karena itu, ketika mendengar cerita Nyai Aziz tentang aktivitas menulis Yai Aziz yang tidak jua lekang oleh usia, tiba-tiba seperti muncul ledakan dalam pikiran. Membayangkan seberapa nikmat saat-saat beliau melewati tiap-tiap tulisan catatan yang dirangkai melalui kedalaman wawasan dan inspirasi. Terbayang kembali masa-masa awal nyantri di Denanyar.
Terima kasih kiai. Telah berhasil memberikan jimat keramat, yang membawa dentuman pada tangan, jari-jemari, pikiran dan pena yang biasa kutoreh. Memunculkan keyakinan, bahwa menulis itu jangan asal sambil lalu. Harus terus diasah, dan dikembangkan. Karena itu adalah bagian dari anugrah istimewa dari yang Mahakuasa. Selamat jalan guru. Semoga yang Mahacinta memberikanmu tempat terbaik di alam sana. Alfatihah.