menulis dengan jernih

3.06.2020

Mbah Maksum Lasem; Wajah Moderat Ulama Salaf

Ulama adalah sosok panutan. Ia menjadi panduan bagi semua komponen masyarakat. Jiwanya harus mampu menjadi tempat berlabuh bagi hamba-hamba Tuhan yang berlainan. Mulai dari baik dan mungkin yang masih berada di jalan yang keliru. Jiwanya universal. Tidak saja terbatas pada satu kelompok, namun juga secara menyeluruh bagi semua umat lintas golongan.

Sebagaimana terlihat akhir-akhir ini, sosok ulama menjadi ruang sempit dengan semata berpihak kepada kelompok masing-masing. Hal ini tampak, misalnya dalam pengabaian umat agama lain yang dianggap tidak seiman dan masuk dalam definisi “yang lain” dalam analisa Hasan Abu Nasr. Kasus-kasus perusakan tempat ibadah adalah kasus paling sering terjadi. Dalam sosial, kebaikan terbatas hanya pada umatnya sendiri.

Buku biografi yang berjudul, Mbah Maksum Lasem: The Authorized Biography of KH. Ma'shum Ahmad, mengangkat sosok ulama salaf yang diperkirakan lahir pada 1290 H/1870 M di daerah Lasem. 

Tidak sebanding dengan sebutan ulama salaf-tradisional yang disandangnya, ulama satu ini memiliki pemikiran yang modern yang jauh ke depan pada masanya. Ada dua pemikiran unik dalam pemikirannya. Pertama, pemikirannya di dunia politik. 

Secara internal NU, misalnya, kasus perselisihan politis antara kelompok Idham Cholid yang cenderung memihak Suharto, dan kelompok Subhan ZE yang bersikap oposisi. Bagi Kiai Maksum, manuver apapun justru akan merusak umat, sehingga keduanya dirangkul dan dicarikan jalan tengahnya. 

Dalam praktik politik praktis, hal ini tampak jelas dalam kasus rawan mengenai PKI. Dia tidak serta merta menghukum oknum PKI sebagai oknum jahat atau baik. Menurutnya, adakalanya tampilan luar jahat, namun hatinya mulia. Ini terbukti, ketika datang salah seorang tokoh PKI sowan. Dia tidak menolak, namun menghadapi secara dialog mencari kebenaran.

Kedua, di bidang sosial dan kemanusiaan. Dalam internal NU adalah kasus tarekat yang marak berkembang. Kiai Maksum tidak memilih masuk tarekat mana pun. Ketika ditanya, dia beralasan sudah punya tarikat sendiri, yaitu tarikat Nabi, mencintai anak yatim dan Fakir miskin. Ini menjadi kritiknya terhadap dinamika tarekat yang cenderung meninggalkan sosial. 

Sedangkan di eksternal Islam, tampak dalam hubungan sosial mbah Maksum dengan umat nonmuslim. Pada 1970-an, mbah Maksum menghadiri suatu undangan umat Tionghoa dalam Tentu saja, pada masa itu dianggap langkah kontraproduktif karena dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Seperti diketahui, masa itu pluralitas agama di saat itu ditentang habis. Namun, bagi mbah Maksum apapun warna etnis, agama atau pun golongan, semuanya kembali pada fitrah sebagai sesama manusia. 

Buku biografi ini cukup mewakili rasa haus setiap orang terhadap tafsir lain yang lebih manusiawi dan elegan dalam beragama. Hal ini tentu saja sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana perkembangan agama lebih menegaskan simbol ketimbang nilai substansial yang menjadi tujuan agama itu sendiri. Akibatnya, agama menjadi sangat dangkal dan sempit. Bahkan, tak jarang justru menjadi masalah itu sendiri di tengah-tengah masyarakat.

Setidaknya buku ini menawarkan nilai-nilai universal agama, yaitu; politik bukanlah sesuatu yang tabu selagi masih dalam koridor mengangkat kaum papa ke level atas. Dan bahwa agama pada dasarnya melampaui di luar penganut itu sendiri sehingga memanifestasikan nilai universal Islam sebagai rakhmat bagi seluruh alam. []
Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support