Ulama
adalah sosok panutan. Ia menjadi panduan bagi semua komponen
masyarakat. Jiwanya harus mampu menjadi tempat berlabuh bagi hamba-hamba
Tuhan yang berlainan. Mulai dari baik dan mungkin yang masih berada di
jalan yang keliru. Jiwanya universal. Tidak saja terbatas pada satu
kelompok, namun juga secara menyeluruh bagi semua umat lintas golongan.
Sebagaimana
terlihat akhir-akhir ini, sosok ulama menjadi ruang sempit dengan
semata berpihak kepada kelompok masing-masing. Hal ini tampak, misalnya
dalam pengabaian umat agama lain yang dianggap tidak seiman dan masuk
dalam definisi “yang lain” dalam analisa Hasan Abu Nasr. Kasus-kasus
perusakan tempat ibadah adalah kasus paling sering terjadi. Dalam
sosial, kebaikan terbatas hanya pada umatnya sendiri.
Buku biografi yang berjudul, Mbah Maksum Lasem: The Authorized Biography of KH. Ma'shum Ahmad, mengangkat sosok ulama salaf yang diperkirakan lahir pada 1290 H/1870 M di daerah Lasem.
Tidak
sebanding dengan sebutan ulama salaf-tradisional yang disandangnya,
ulama satu ini memiliki pemikiran yang modern yang jauh ke depan pada
masanya. Ada dua pemikiran unik dalam pemikirannya. Pertama, pemikirannya di dunia politik.
Secara
internal NU, misalnya, kasus perselisihan politis antara kelompok Idham
Cholid yang cenderung memihak Suharto, dan kelompok Subhan ZE yang
bersikap oposisi. Bagi Kiai Maksum, manuver apapun justru akan merusak
umat, sehingga keduanya dirangkul dan dicarikan jalan tengahnya.
Dalam
praktik politik praktis, hal ini tampak jelas dalam kasus rawan
mengenai PKI. Dia tidak serta merta menghukum oknum PKI sebagai oknum
jahat atau baik. Menurutnya, adakalanya tampilan luar jahat, namun
hatinya mulia. Ini terbukti, ketika datang salah seorang tokoh PKI
sowan. Dia tidak menolak, namun menghadapi secara dialog mencari
kebenaran.
Kedua,
di bidang sosial dan kemanusiaan. Dalam internal NU adalah kasus
tarekat yang marak berkembang. Kiai Maksum tidak memilih masuk tarekat
mana pun. Ketika ditanya, dia beralasan sudah punya tarikat sendiri,
yaitu tarikat Nabi, mencintai anak yatim dan Fakir miskin. Ini menjadi
kritiknya terhadap dinamika tarekat yang cenderung meninggalkan sosial.
Sedangkan
di eksternal Islam, tampak dalam hubungan sosial mbah Maksum dengan
umat nonmuslim. Pada 1970-an, mbah Maksum menghadiri suatu undangan umat
Tionghoa dalam Tentu saja, pada masa itu dianggap langkah
kontraproduktif karena dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Seperti
diketahui, masa itu pluralitas agama di saat itu ditentang habis. Namun,
bagi mbah Maksum apapun warna etnis, agama atau pun golongan, semuanya
kembali pada fitrah sebagai sesama manusia.
Buku
biografi ini cukup mewakili rasa haus setiap orang terhadap tafsir lain
yang lebih manusiawi dan elegan dalam beragama. Hal ini tentu saja
sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana perkembangan agama lebih
menegaskan simbol ketimbang nilai substansial yang menjadi
tujuan agama itu sendiri. Akibatnya, agama menjadi sangat dangkal dan
sempit. Bahkan, tak jarang justru menjadi masalah itu sendiri di
tengah-tengah masyarakat.
Setidaknya
buku ini menawarkan nilai-nilai universal agama, yaitu; politik
bukanlah sesuatu yang tabu selagi masih dalam koridor mengangkat kaum
papa ke level atas. Dan bahwa agama pada dasarnya melampaui di luar
penganut itu sendiri sehingga memanifestasikan nilai universal Islam
sebagai rakhmat bagi seluruh alam. []