menulis dengan jernih

  • Cinta tak Lantas Jodohmu

    Amel langsung senyap. Tak ada suara dari mulutnya. Tiba-tiba kudengar ia sesunggukan. Kuangkat kepala. Oh Tuhan. Kok dia yang malah menangis? Meskipun diriku lelaki, tetapi soal patah hati, lelaki juga punya hak yang sama untuk menangis bukan?

  • Pengasuh Anak Kami

    Aku dan suami akhirnya memutuskan mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.

  • Dear Mantan

    Rasaku padamu. Saat melihatmu kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka.

  • Salam Ala Kucing

    Aneh juga. Masak kucing bisa mengucap salam? Tetapi begitulah adanya. Kucing juga makhluk yang punya rasa sosial. Jika terlihat pendatang baru, mereka saling uluk salam. Kulunuwum sek rek...

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

3.08.2020

Cinta Tak Lantas Jodohmu

Aku sangat bersyukur. Malam ini hujan tak turun lagi seperti kemaren malam. Tak apalah meskipun ini malam Senin, bukan malam Minggu. Tekad ini harus segera kugenapkan. Sebenarnya sudah kesekian kali kurencanakan sih, tapi ya bagaimana lagi. Rasa berani ini munculnya barus sekarang. Amelia, apa kabarmu di musim penghujan ini?

doc-ukhtiirgiaulia.blogspot.com


Aku gugup. Bajuku mulai basah oleh keringat. Amelia menyambutku dengan senyum khasnya. Dua lesung pipitnya itu. Aduhai Tuhan indah sekali. Kami kemudian duduk. Tak saling bicara.


"Kok diam terus sedari tadi mas? Biasanya kan

Share:

'Dear Mantan'


Menyerupai gelap yang menyelimuti malam, dan penggalan bulan yang meruncing di atas langit. Menimbulkan bias-bias cahaya di beberapa ruang. Inspirasi yang sempurna. Kurasa seperti itu. Rasaku padamu. Saat melihatmu kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka. Haruskah kubilang, pertemuan kita ini membuat cinta ini lebih mekar ketimbang yang dulu?

“Kau tahu? Sebuah pelukan darimu akan sangat berarti bagiku malam ini,” katamu. Batinku serasa beraduk. Adakah kau merasakan perasaan yang sama denganku? Kau menatapku. Napasku tersendat di dada. Tatapan mata itu. Membuat diriku seakan tenggelam di dasar kedalaman laut. Perlahan aku menata keluarnya napas yang tertunda.

“Aku tahu. Ya, aku tahu. Kau tidak mungkin memelukku malam ini...” ucapmu lagi. Mukamu tertunduk. Mengitari tebaran pasir. Tanganmu lantas mengaduk-aduk pasir, dan menghempas-hempaskannya ke udara. Sebetulnya nona, aku ingin sekali mengutarakan sejumlah tautan hatiku padamu. Namun kerongkongan ini bak digandoli ketela satu karung. Lebih-lebih ketika mukamu kau angkat ke atas. Butiran bening jatuh dari pipimu.

“Sungguh. Tidakkah kau ingin memelukku?” katamu setelah itu. Kupejam mata sekilas, deru napasku lagi-lagi tertahan di dada. Ada luapan-luapan yang mustahil kuperlihatkan padamu. Apalagi, tanganmu tiba-tiba menggamit tanganku. Jantungku berdenyut-denyut. “Aku betul-betul rindu sama kamu. Aku, aku...” katamu sembari menahan sesungguk. Aku membiarkan dua tanganmu menggegam telapak tanganku. Dengan bergetar kau cium tanganku.

“Aku ingin memelukmu sekali saja...” kembali kau ulang permintaan itu, sedang aku tetap memilih diam membeku. Sesunggukmu terhenti. Kau hapus simbah airmatamu. Hanya napas yang kurasakan mengekang. Menggagalkan setiap desir yang beruntun bergolak di dada. Aku ingin semua segera memiliki akhir, yang paling terakhir.

“Baiklah. Kuutarakan saja padamu. Kuharap kau betul-betul mendengarkannya...”
“Tanpa kau utarakan sekalipun, aku sudah mengetahuinya,” akhirnya untuk pertama kalinya, aku memberimu sejumlah sahutan. “Kau pikir, hanya kamu yang mengharapkan pertemuan yang tidak terduga ini?”
“Maksud kamu....”

Aku menganggukkan kepala sebelum kau meneruskan ucapan.

“Semua itu sudah menjadi masa lalu,” kataku, “Namun nyatanya kita tidak betul-betul mampu mengabaikannya dalam ingatan. Kamu juga setuju kan?” kau pun lantas mengangguk. “Dan aku sadar, kalaupun kau ingin memelukku, semata karena kerinduan seorang sahabat. Iya kan?” lagi-lagi kau mengangguk. “Meskipun begitu, aku tetap bukan lelakimu. Dirimu pun bukan perempuanku, suatu hal yang membuat sebuah pelukan tidak sah untuk kita lakukan”.

“Mungkin itu iya, namun tidak benar seluruhnya,” katamu menyahut. “Aku mencintai lelakiku, namun hati lelakiku masih berbekas oleh perempuan yang selainku. Itu sulit kuterima...”

“Lalu, mengapa sebuah pelukan ingin kau berikan untukku?”
“Itu... itu... karena baru tersadar olehku. Betapa besar cintamu padaku di masa itu. Namun, nyatanya kau selalu kuanggap angin lalu. Aku meninggalkanmu dengan alasan aku tak pantas untukmu, sedang alasan sebenarnya? Karena aku telah jatuh cinta pada lelaki yang lain. Ya, lelaki yang kini jadi suamiku...”

Aku menahan napas. Entahlah. Haruskah aku marah setelah mengetahui semua alasan itu? Ingin kusanggah dirimu, namun urung kulakukan. Kulihat kau masih ingin melanjutkan perkataan. Mungkin seharusnya aku mengalah, dan membiarkannya untuk terus berbicara lebih banyak dariku.

“Dan sekarang?” lanjutmu kemudian, “Saat aku mencintai seseorang, dan aku berhasil memilikinya? Ternyata baru kusadari bahwa memiliki orang yang kita cintai, tidak otomatis memiliki jiwanya, juga perasaannya. Suamiku memang tidak pernah selingkuh, tetapi apalah arti memiliki? Sekiranya batinnya gagal kumiliki?”

“Ya. Aku pun sempat merasakan hal seperti itu. Memiliki seseorang, namun hatinya dimiliki oleh orang lain...” aku menimpali. Kau langsung tertunduk. Kembali sesunggukan. Kembali juga kau genggam tanganku dengan erat.

“Pelukan itu adalah bentuk penyesalan dariku. Aku ingin kau memaafkanku, yang telah melukaimu di masa silam...” sahutmu. Aku mengangkat wajahmu. Kemudian memintamu melihatku. “Kembalilah pada suamimu. Dia butuh kamu...” kataku. “Rasa bersalahmu padaku selama ini, sebetulnya itulah yang telah menjadikan suamimu kembali terkenang-kenang lagi oleh mantan-nya yang sebelum kamu itu...”

Kau terhenyak, seperti kaget dengan kalimatku. Kedua matamu tiba-tiba menyipit. Membuat dua alis tebalmu menyatu.  “Ma... mak.,, sudmu???”

“Rasa bersalahmu itu, diam-diam telah membuat pikiranmu terforsir kepikiran aku, ketimbang kepikiran tentang suamimu. Itu secara tidak langsung dapat membuat suamimu kehilangan tempat bersandar, sehingga ia membuat masa lalunya sebagai pelarian yang menyenangkan...” kataku dengan kalimat yang panjang. Kuharap pertemuan segera berakhir.

Sebab apa? Karena aku sadar, bertemu mantan itu menyimpan dua sisi; sekelumit keindahan nostalgia, yang seringkali berakhir kemelut. (Wonocolo,  2016)
Share:

3.06.2020

Pengasuh Anak Kami


  
Umur Sana sudah hampir setengah tahun. Usia lucu-lucunya. Ia menjadi pemudar lelah, letih, dan penyegar pikiran bagi kami, kedua orang tuanya, setiap kali pulang kerja. Sebenarnya, aku ingin ajak tinggal bersamaku sembari menjaga dan mengasuh Sana. Tokh, di kampung juga lebih banyak sendiri. Usianya terlalu sepuh untuk mondar-mandir meski sekedar ke tetangga. Bapak sendiri sudah wafat 1 tahun lalu setelah Hartin, adik bungsuku, lahir.
            Untunglah Hartin juga sudah bekerja. Namun ia lebih sering pulang larut. Makanya, kupikir baiknya ibu tinggal bersamaku, maka Ibu tidak akan lagi kesepian. Ia bisa bermain dan terhibur dengan kehadiran Sana. Lebih-lebih, di kampung Ibu juga sudah tidak bekerja.
            Mulanya, Ibu tidak bersedia tinggal bersamaku di kota. Kami berdua kerap memintanya berhenti jadi pedagang. Soal uang biar kami yang menggenapi. Buat apa susah-susah cari uang, wong anak-anaknya juga sudah punya kerja semua. Sudah mampu membiayai hidupnya! Namun Ibu bersikukuh mau cari uang sendiri. Baginya, biarlah ia sendiri yang mencukupi dirinya sendiri, tanpa harus merepotkan anak-anaknya.
            Aku dan suami akhirnya memutuskan mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.
             
******
            Sejak sebelum Sana dilahirkan, kami sudah berembug soal bagaimana cara mengasuh bayi kami jika nanti sudah lahir. Suamiku memintaku mengurangi aktivitas mengajar, atau kalau perlu berhenti saja secara total. Sebab, ia ingin Sana nantinya tidak dibesarkan oleh seorang pengasuh. Lagi-lagi, suami menyerah setelah kembali kuutarakan kesepakatan yang kami buat semasa pacaran. Untunglah, ketika ibu belum bersedia ke kota, datang Ipah sebagai pengasuh anak kami.
            Ipah orangnya cekatan. Sebab, sepulang kantor, nyatanya dia tak hanya mengasuh anak kami. Tetapi juga membuat rapi dan bersih seluruh isi rumah. Tanpa diminta ia melakukannya. Bahkan, termasuk mencuci baju kami. Ia hanya bertahan 2,5 bulan mengasuh anak. Aku meminta suami agar memberhentikannya.
            “Mengapa? Apakah ia sudah berbuat salah?” aku menggeleng. “Kupikir ayah benar, anak mestinya nggak diasuh orang lain. Betul kan? Bagaimana kalau yang mengasuh Sana adalah Ibuku?” Suamiku terdiam, sesaat kemudian dia mengangguk-angguk. “Terserah Bunda sajalah. Kalau menurutmu itu baik, ayah ikut saja..”
            Suamiku mungkin tidak menyangka alasan sebenarnya. Sebulan mengasuh anak kami, pelan-pelan ia tampil beda. Ia mulai memakai baju seadanya. Keluar kamar mandi ia hanya pake handuk, mengepel lantai memakai pakaian tidur. Mungkin ia melakukannya tidak sengaja. Mungkin saja ia sudah menganggap rumah kami layaknya rumah sendiri. Ipah memang sangat lugu dan polos. Ia juga hanya tamat SD.
            Namun, gimana pun juga, aku tetap merasa cemburu. Merasa takut perhatian suami tiba-tiba tertuju pada Ipah. Aku sadar. Ini pikiran konyol, tetapi aku tetap tak bisa menutupi golakan hati. Sebagai jaga-jaga, Ipah akan benar-benar berhenti jadi pengasuh, diam-diam aku terus rayu Ibu biar tinggal bersama kami. Ibu baru berhasil luluh manakala mendengar akan mengasuh anak kami. Kami pun menjemput Ibu sebelum Ipah pergi dari rumah kami.  
            ******
           
            Semakin beranjak usia, semakin terlihat adanya kemiripan Sana dengan kedua orang tuanya. Kami sering membanding-bandingkan di mana saja kemiripannya dengan kami berdua. Kurasa dua bola mata Sana sangat mirip ayahnya. Kata orang-orang, alisnya yang tebal menyerupai alisku, bundanya. Tetapi rambutnya tak ada yang mirip kami berdua. Rambut Sana lurus. Hitam, dan kuat. Sementara, rambutku tidak lurus, tetapi bergelombang. Dan rambut ayahnya sedikit keriting.
            “Itu lebih mirip rambut ibu,” kata Hartin, adik di bawahku ketika datang ke rumah kami. Hartin memang benar, tetapi rambut ibu tidak sehitam rambut Sana. Kami seringkali tertawa jika sudah berbincang yang khas-khas dari bayi kami. Maklum, Sana merupakan anak pertamaku. Cucu pertama ibu, karena aku adalah anak sulung. Adikku meski sudah usia 28 tahun, tetapi dia belum juga menikah. Padahal, dia sudah gonta-ganti pacar sampai tujuh kali.
            Wajar, dia memiliki wajah yang cantik, juga manis. Walaupun aku sendiri menikah di usia 31 tahun, tetapi aku pacaran ya cuma sama suamiku yang sekarang. Kami menikah setelah aku selesai magister ekonomi di perguruan tinggi di Jogjakarta. Baru setelah berhasil lolos diterima menjadi dosen, aku menyatakan siap menikah. Suamiku sendiri adalah seorang dokter.
            Sebagai sepasang suami-istri yang sama-sama bekerja dan meniti karir, kesibukan padat, dan sama-sama pulang malam, menjadikan kami tidak sempat memiliki waktu panjang yang banyak. Terlebih, suami terkadang mendapat tugas dinas luar kota.
            “Sebenarnya, ayah pengen bunda mengurangi aktivitas mengajar. Cukuplah ayah yang sibuk. Mencari tambahan nafkah. Tokh secara penghasilan kan gaji ayah sudah lebih dari cukup? ” kata suamiku suatu hari.
            “Apa sudah lupa kesepakatan yang ayah buat sendiri sebelum menikah?” kataku balik bertanya. Ia tertegun. Lama ia berdiam diri. Aku mesam-mesem. Itulah kata kunci setiap kali dia pertanyakan soal waktuku. Sebab, itu bukanlah suatu pertanyaan yang pertama. Sudah berkali-kali. Dan jawaban itu selalu berhasil menghapus pertanyaan dia selanjutnya. Tentu ia sadar, dulu aku menerimanya karena dia bersedia menerimaku apa adanya. Menerima diriku yang mungkin tak seperti wanita lain. Waktuku yang habis buat kuliah, buat mencari ilmu dan terlibat dalam beberapa aktivitas organisasi.
            “Ayah tetap ingat kesepakatan itu. Ayah hanya rindu kita memiliki waktu kebersamaan yang lebih banyak. Ingin sepulang kerja ada yang menyambutku dengan pelukan hangat. Ingin setiap kali pulang kerja, melihatmu tampil segar-bugar. Penuh senyuman. Lagipula, kan masih bisa ikut kegiatan selain dunia karir?” katanya sembari bertanya lirih. Aku menahan napas. Ada yang membuncah di dada, serasa ingin tumpah. Tetapi jika aku mengiyakannya, tentu akan berpengaruh pada profesiku sebagai seorang dosen.
            Kudengar suamiku menarik napas. Tatapan matanya kosong, terlempar hingga ke halaman rumah. Aku tak tahu apa yang dirasakannya. “Setiap kali pulang kerja, selalu saja aku melihatmu lelah. Terlelap. Dan keesokan harinya, belum sempat kita bicara, sudah terancam waktu mengajarmu. Aku memang tak bisa memintamu mengamini keinginanku. Ini hanya cuma soal isi hatiku saja..” tambahnya. Aku hanya bisa menunduk saja kala itu.
            “Melamun mbak? Kok kayaknya serius banged???” aku terhenyak. Hartin tertawa lebar. Malu juga ketahuan sedang melamun. Hartin tiba-tiba beranjak dari kasur. “Eh, Ibu nggak kelihatan sedari tadi mbak?” tanyanya.  Sewaktu sampai di rumah, Hartin memang tidak langsung ketemu Ibu. Melihatku sedang menggendong Sana, ia langsung minta ganti menggendong.
            “Jam segini, ya sudah tidur Hartin..” sahutku. Maklum, Hartin tiba sehabis Isya. Sementara Ibu selepas shalat isya, langsung istirahat setelah seharian mengurus Sana. Aku sendiri segera setelah pulang kerja, sudah kujadwal bahwa waktu-waktu yang sedikit itu harus lebih banyak bersama Sana.
            “Ibu pastinya lelah Tin. Kan seharian bersama Sana..” tambahku. Hartin manggut-manggut. Ia kemudian batuk-batuk, lalu kembali duduk di atas sisi ranjang. Raut mukanya tampak murung.
            “Kenapa Tin? Apa sedang ada masalah?” tanyaku. Hartin menggeleng.
            “Sampai kita sama-sama dewasa begini, kita masih terus merepotkan Ibu ya?” katanya lirih seperti sedang bicara dengan diri sendiri. “Waktu Ibu masih di kampung bersamaku, aku tak merawatnya dengan baik. Mengurus makanannya, bajunya, atau membantunya di dapur. Bahkan, masak pun, Ibu yang memasakkannya! Sementara aku, selepas kerja tinggal makan saja. Aku menyadari setelah ibu bersamamu..”
            Hartin tiba-tiba terisak. Matanya sembab. Aku terdiam bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Terlebih, setelah aku sendiri sadar akan kebenaran ucapan Hartin. Ya Hartin benar. Sejak mulai dari dalam kandungan Ibu melayani kami berdua tanpa Ayah, bekerja mencari nafkah untuk kami. Dan, bahkan saat ini pun, ketika aku punya anak, Ibu masih terus melayani aku, anaknya. Lantas, kapan saatnya aku melayani dan membahagiakan Ibu?[]

Share:

Batu Bertuah


            
 
Orang-orang makin banyak berdesakan. Wajah Ali tambah lelah. Entah sudah beberapa jam, berapa hari, dan akan berapa lama lagi akan selalu seperti ini. Sampai kapan semuanya akan berakhir? Oh, betapa dirinya sudah sangat lelah. Ia ingin seperti dulu yang bebas bermain. Main petak umpet atau main bola di lapangan desa yang selalu becek berat jika hujan turun. Entah apa sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh orang-orang dewasa itu. Ia sama sekali tak dapat mengerti.
Apa jangan-jangan dirinya memang terlalu kecil untuk mengerti kemauan dan pikiran orang-orang dewasa?
            “Ali!! Jangan hanya bengong, cepat layani tamu dengan baik!”
            Ali tersenyum kecut. Kembali ia fokus pada benda itu, dan mencelupkannya ke dalam air setiap kali orang-orang dewasa itu menyuruhnya. Selalu seperti itu. Setiap hari. Bukan. Bukan tiap hari, tapi sepanjang waktu. Orang-orang dewasa. Orang-orang dewasa yang sangat sulit dimengerti, apa kemauan mereka sebenarnya. Apakah kalau sudah dewasa, ia pun akan begitu? Seperti orang-orang dewasa itu? Ali kebayang hujan-hujanan sambil main bola yang sudah lama tak dilakukannya, tetapi sekarang ia hanya bisa main game saja di hape.
            “Hayo, jangan main hape terus!”
Lagi-lagi, orang dewasa menyentaknya, sembarimenggamit tangannya agar mencelupkan batu ke dalam air. Ia tidak sepenuhnya tahu, untuk apa sih batu berbentuk agak bulat itu dibegituin. Kata orang dewasa sih, itu batu ajaib. Kadang ia berpikir, apakah yang dimaksud dengan batu ajaib itu sama dengan yang pernah ia tonton  di sinetrin-sinetron televisi?
            Ali menarik napas. Nampaknya masih banyak orang yang akan bermunculan. Dari halaman rumah saja, tiga sampai lima orang terlihat menuju tempatnya duduk. Sementara yang duduk di ruang tamu saja sudah mencapai 15 orang.  Kini tangannya terasa kebas, begitu pula bokongnya yang terasa panas. Berapa jam sudah ia hanya duduk-diam?


            Semuanya berawal dari hujan yang deras minggu lalu. Hari itu siang menjelang sore. Bertujuh dengan teman-temannya, Ali tenggelam asyik bermain bola di lapangan desa. Jaraknya hanya setengah kilo saja dari rumahnya. Tak selang lama lalu turunlah hujan sederas-derasnya. Menambah larut saja mereka bermain. Hanya saja itu tak lama. Sebab tiba-tiba bergelegar guntur. Halilintar berkilat-kilat di kejauhan. Gemuruhnya mendebarkan tanah tempat mereka bermain. Muncullah orang-orang dewasa, mengingatkan mereka agar segera pulang. Ali dan teman-temannya cuek-bebek. Mereka terus saja bermain.
            Saat itulah, mamaknya datang. Menyuruhnya pulang. Ali segera bergegas. Ogah pulang.  Ia tahu, kalau tak segera menghindar, mereka akan memaksanya balik rumah. Padahal, ia masih sangat senang bermain-main dengan hujan, lumpur becek, dan suara-suara guntur. Apalagi penampakan kilat yang  menyambar-nyambar itu. Sungguh membuatnya terkesima. Rasanya, seperti sedang menonton akrobat.
            “Pulang Ali, pulang! Mau ke mana kamu?!!”
            Ali tak hirau berapa kali pun teriakan mamak. Ia memilih terus berlari menjauh. Tetapi Mamak rupanya masih mengejar juga di belakang.


            Bluk.. bukk!!
            Ali jatuh terjerembab. Seonggak batu seukuran kepalan tangan tersandung kakinya. Dengan kesal, ia memungut batu itu. Ia berencana menakut-nakuti mamak biar tak mengejarnya lagi, jadi dia bisa kembali bermain dengan aman.

            Blar!
            Blar, blarr!!
            Suara kilat mendadak menggema ke segala arah. Kilatan cahayanya menyambar-nyambar tidak karuan. Seolah-olah kilatan petir itu sedang berkiblat di hadapannya. Saking kaget, Ali lagi-lagi terjatuh. Dadanya terasa seperti ditikam pisau, sebab batu yang mulanya untuk pura-pura melempar mamak ikut jatuh dan menimpa dadanya. Kepalanya serasa berputar. Dan, ia pun tidak ingat apa-apa lagi. Ia pingsan.
            Ali terbangun dari pingsan. Ia memandang ke semua ruangan. Tak ada satu pun orang di sekitarnya. Tetapi ia sudah berganti pakaian. Entah apa yang sedang terjadi, ia sudah lupa. Tetapi di ruang tamu, ia menyaksikan sejumlah orang. Ramai sekali suara mereka. Suara ramai itu mendadak senyap begitu ia tiba di ruang tamu. Orang-orang memandangnya aneh. Ali garuk-garuk kepala. Di atas meja ia melihat sesuatu yang teronggok. Kedua matanya menyipit, ia baru ingat sekarang. Bukankah itu adalah batu yang membuatnya jatuh karena kesandung saat berhujan-hujan? Tetapi kenapa sekarang batu itu ada di atas meja?

            Sejak ia pingsan gegara jatuh sebab dikejar mamak saat berhujan-hujan, lalu dadanya ketimpa batu, orang-orang dewasa mulai memunculkan sikap-sikap aneh. Dan tentu saja, menyebalkan. Betapa tidak, ia selalu saja disuruh duduk diam begitu lama di ruang tamu. Menunggui kemunculan orang-orang yang terus saja berdatangan. Mulai dari yang berjumlah puluhan, ratusan hingga mungkin ribuan.
            “Hayo, ambil batunya nak. Celupkan di air panci itu,” begitu terus perintah mamak, setiap kali orang-orang dewasa itu berdatangan.
Entah ada apa dengan batu itu, sehingga orang-orang dewasa itu begitu menyukainya. Apa mungkin di dalamnya ada barang mainan yang sangat disukai orang-orang dewasa? Ali tidak tahu, yang jelas mereka seperti sangat menginginkannya. Sampai-sampai, mereka mau saja meminum air yang sudah dicelupin batu itu. Tetapi, yang lebih mengherankan bagi Ali, kenapa harus dirinya yang memegang dan mencelupkan batu itu ke dalam air untuk dibikin mainan oleh orang-orang dewasa. Ia ingin sekali marah, tapi setiap kali menatap mata orang dewasa, ia sangat ketakutan. Jangan-jangan mereka akan memukulinya?
            Begitulah setiap waktu. Ali mulai bimbang dan bosan. Sebulan lebih sudah ia duduk diam di ruang tamu, menunggu kemunculan orang-orang. Lalu ia mencelupkan batu itu ke masing-masing wadah air yang mereka bawa. Kadang ia berpikir, apakah kalau sudah dewasa nanti, ia pun akan menyukai batu sebagaimana orang-orang dewasa itu menyukainya?

            Tapi, ia kini merasa sangat bosan sekarang. Ia tidak tahu harus berkata apa pada orang-orang dewasa. Ia khawatir seperti yang sudah-sudah. Tapi ia benar-benar sumpek. Ia rindu ke sekolah, main petak umpet. Main hujan. HP di tangannya sudah tak bisa menahan keinginannya dari kebosanan. Ia merasa sangat marah sama orang-orang dewasa. Ia muak dengan orang-orang dewasa. Karena mereka, ia tidak bisa bertemu teman-teman dan bermain seperti biasa.
            “Ali, hayo yang serius!” kata orang dewasa berbisik. Dengan acuh ia memegang batu dan mengikuti gerakan tangan orang dewasa mencelupkan batu ke dalam air.
            “Ali, hayo tanganmu!” bisik mereka lagi dengan suara bentakan kecil. Dengan muka manyun, Ali bangun dan menuruti kemauan mereka. Ribuan orang dewasa berputar-putar bergiliran. Muak sekali dirinya melihat kumpulan mereka, orang-orang dewasa.
            Plazz!!
            Ali menumpahkan air ke wajah orang-orang dewasa. Kesal sekali ia sekarang. Aneh, ternyata orang dewasa itu tidak marah dengan aksinya. Mereka justru seperti senang dibegitukan. Ali menjadi jengkel, ketika seorang berseragam petugas menghampirinya, ia pun melampiaskan hatinya dengan menendang bahu petugas tersebut. Ali baru merasa puas, karena raut wajah petugas seperti tersinggung, namun seperti tidak berani melawan. Ali benar-benar puas. Orang dewasa ternyata takut pada dirinya. Hahaha!
            Ali makin senang. Ia makin senang mencipratkan air ke muka, menendang, dan berbuat sesukanya pada orang-orang dewasa.




Share:

Mbah Maksum Lasem; Wajah Moderat Ulama Salaf

Ulama adalah sosok panutan. Ia menjadi panduan bagi semua komponen masyarakat. Jiwanya harus mampu menjadi tempat berlabuh bagi hamba-hamba Tuhan yang berlainan. Mulai dari baik dan mungkin yang masih berada di jalan yang keliru. Jiwanya universal. Tidak saja terbatas pada satu kelompok, namun juga secara menyeluruh bagi semua umat lintas golongan.

Sebagaimana terlihat akhir-akhir ini, sosok ulama menjadi ruang sempit dengan semata berpihak kepada kelompok masing-masing. Hal ini tampak, misalnya dalam pengabaian umat agama lain yang dianggap tidak seiman dan masuk dalam definisi “yang lain” dalam analisa Hasan Abu Nasr. Kasus-kasus perusakan tempat ibadah adalah kasus paling sering terjadi. Dalam sosial, kebaikan terbatas hanya pada umatnya sendiri.

Buku biografi yang berjudul, Mbah Maksum Lasem: The Authorized Biography of KH. Ma'shum Ahmad, mengangkat sosok ulama salaf yang diperkirakan lahir pada 1290 H/1870 M di daerah Lasem. 

Tidak sebanding dengan sebutan ulama salaf-tradisional yang disandangnya, ulama satu ini memiliki pemikiran yang modern yang jauh ke depan pada masanya. Ada dua pemikiran unik dalam pemikirannya. Pertama, pemikirannya di dunia politik. 

Secara internal NU, misalnya, kasus perselisihan politis antara kelompok Idham Cholid yang cenderung memihak Suharto, dan kelompok Subhan ZE yang bersikap oposisi. Bagi Kiai Maksum, manuver apapun justru akan merusak umat, sehingga keduanya dirangkul dan dicarikan jalan tengahnya. 

Dalam praktik politik praktis, hal ini tampak jelas dalam kasus rawan mengenai PKI. Dia tidak serta merta menghukum oknum PKI sebagai oknum jahat atau baik. Menurutnya, adakalanya tampilan luar jahat, namun hatinya mulia. Ini terbukti, ketika datang salah seorang tokoh PKI sowan. Dia tidak menolak, namun menghadapi secara dialog mencari kebenaran.

Kedua, di bidang sosial dan kemanusiaan. Dalam internal NU adalah kasus tarekat yang marak berkembang. Kiai Maksum tidak memilih masuk tarekat mana pun. Ketika ditanya, dia beralasan sudah punya tarikat sendiri, yaitu tarikat Nabi, mencintai anak yatim dan Fakir miskin. Ini menjadi kritiknya terhadap dinamika tarekat yang cenderung meninggalkan sosial. 

Sedangkan di eksternal Islam, tampak dalam hubungan sosial mbah Maksum dengan umat nonmuslim. Pada 1970-an, mbah Maksum menghadiri suatu undangan umat Tionghoa dalam Tentu saja, pada masa itu dianggap langkah kontraproduktif karena dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Seperti diketahui, masa itu pluralitas agama di saat itu ditentang habis. Namun, bagi mbah Maksum apapun warna etnis, agama atau pun golongan, semuanya kembali pada fitrah sebagai sesama manusia. 

Buku biografi ini cukup mewakili rasa haus setiap orang terhadap tafsir lain yang lebih manusiawi dan elegan dalam beragama. Hal ini tentu saja sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana perkembangan agama lebih menegaskan simbol ketimbang nilai substansial yang menjadi tujuan agama itu sendiri. Akibatnya, agama menjadi sangat dangkal dan sempit. Bahkan, tak jarang justru menjadi masalah itu sendiri di tengah-tengah masyarakat.

Setidaknya buku ini menawarkan nilai-nilai universal agama, yaitu; politik bukanlah sesuatu yang tabu selagi masih dalam koridor mengangkat kaum papa ke level atas. Dan bahwa agama pada dasarnya melampaui di luar penganut itu sendiri sehingga memanifestasikan nilai universal Islam sebagai rakhmat bagi seluruh alam. []
Share:

Mengenang Sang Guru, KH. Aziz Masyhuri


Inspirasi dan Keteladanan sang Guru


"Belakangan ini, waktu-waktunya beliau lebih banyak dihabiskan untuk membaca dan terus menulis. Saya cukup senang beliau bisa lebih banyak istrahat di rumah..." Nyai Hj. Azizah Aziz Bisri


Sore belum benar-benar mereda, saat tiba di Pondok Pesantren Al-Aziziyah. Sejumlah alumni juga sudah berkumpul di masjid. Ini adalah kali kedua saya sowan ke Yai Aziz Masyhuri di bangunan pesantrennya yang baru. Sowan yang pertama kali adalah di saat ada gelar muktamar NU tahun sebelumnya. Berhubung beliau masih istirahat, kami ditemui oleh bu Nyai Aziz. Kami pun terlibat obrolan lepas sampai lebih dua jam lamanya.

Sebanyak apapun obrolan yang beliau bincangkan, hanya satu ucapan beliau yang betul-betul paling saya rindukan sejak masih  di Madura dan belum menyentuh tanah Jawa, yaitu soal kecintaan beliau dalam soal menulis dan berkarya. "Belakangan ini, waktu-waktunya beliau lebih banyak dihabiskan untuk membaca dan terus menulis. Saya cukup senang beliau bisa lebih banyak istrahat di rumah..." begitu Nyai Aziz bercerita. Itu adalah ucapan yang melebihi jimat paling keramat bagi saya sendiri.

Barangkali cukup wajar jika saya selalu rindu hobi Yai yang satu ini. Wajar juga jika sejak awal masuk jadi santri, hal yang mula-mula menarik perhatian saya adalah kekhusyukan dan kekuatan beliau untuk duduk lama, baik di rumah beliau, maupun saat sedang menghabiskan waktu di ruang perpustakaan asrama. Membaca dan membaca. Menulis dan terus menulis dengan khidmatnya. Terasa pemandangan sepele, tetapi bagi saya yang sejak kecil suka menulis, tentu itu lebih dari sekedar apa yang kelihatan.

Sekalipun senang menulis sejak usia Sekolah Dasar (SD), tetapi sejauh itu saya belajar menulis secara naluriah saja, alias otodidak. Tidak ada yang menyuruh atau memberi bimbingan. Sejauh itu, saya menulis tidak lebih hanya sebagai kepuasan saat bisa menjelaskan sesuatu dalam bentuk tulisan. Makanya, ketika bisa menemukan sosok yang bisa dijadikan sebagai sandara inspirasi, bak menemukan harta karun tak ternilai.  

Untuk pertama kalinya, saya merasa menemukan sosok idola yang mampu memberi kekuatan inspirasi. Sejak saat itu, saya mulai menyadari betapa menulis itu bukan hanya sambil lalu. Tetapi suatu warna hidup yang menakjubkan. Hal itu juga yang memunculkan tekad dan semangat agar lebih serius mengasah kemampuan. Sejak awal saya tidak pernah berpikir bahwa menulis itu butuh ketekunan, harus terus belajar dan harus melahirkan karya sebagai puncak kepuasan.

Ketika kuliah, tekad tersebut menggerakkan saya untuk terjun di dunia jurnalistik dan selanjutnya mencoba sensasi bekerja di penerbitan. Walau berkali-kali gagal menerbitkan karya, tetapi selalu saja muncul hasrat untuk terus mengulang tekad untuk terus mengalirkannya kembali. Sampai benar-benar berhasil. Apalagi jika mengingat betapa nikmatnya jika sebuah tulisan sudah bisa menjelma menjadi sebuah buku, dan dibaca banyak orang.

Meskipun belum melahirkan karya, bagaimanapun saya tidak pernah terpikir, kelak bakal betul-betul serius menekuni sesuatu yang awalnya hanya hobi saja itu.  Tetapi cukup lega juga. Sekalipun belum menghasilkan karya, minimalnya tekad tersebut bisa mengantarkan saya ke tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya sebagai orang yang mencinta dunia tulisan sejak kecil. Berkat dorongan itu, saya bisa menjadi editor dan terjun serius di dunia jurnalistik.

Mungkin ada benarnya juga. Untuk meraih mimpi, kita memerlukan seseorang yang mampu menjadi alat penggerak. Penggerak motivasi dan inspirasi. Karena itu, ketika mendengar cerita Nyai Aziz tentang aktivitas menulis Yai Aziz yang tidak jua lekang oleh usia, tiba-tiba seperti muncul ledakan dalam pikiran. Membayangkan seberapa nikmat saat-saat beliau melewati tiap-tiap tulisan catatan yang dirangkai melalui kedalaman wawasan dan inspirasi. Terbayang kembali masa-masa awal nyantri di Denanyar.


Terima kasih kiai. Telah berhasil memberikan jimat keramat, yang membawa dentuman pada tangan, jari-jemari, pikiran dan  pena yang biasa kutoreh. Memunculkan keyakinan, bahwa menulis itu jangan asal sambil lalu. Harus terus diasah, dan dikembangkan. Karena itu adalah bagian dari anugrah istimewa dari yang Mahakuasa. Selamat jalan guru. Semoga yang Mahacinta memberikanmu tempat terbaik di alam sana. Alfatihah.

Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support