menulis dengan jernih

  • Cinta tak Lantas Jodohmu

    Amel langsung senyap. Tak ada suara dari mulutnya. Tiba-tiba kudengar ia sesunggukan. Kuangkat kepala. Oh Tuhan. Kok dia yang malah menangis? Meskipun diriku lelaki, tetapi soal patah hati, lelaki juga punya hak yang sama untuk menangis bukan?

  • Pengasuh Anak Kami

    Aku dan suami akhirnya memutuskan mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.

  • Dear Mantan

    Rasaku padamu. Saat melihatmu kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka.

  • Salam Ala Kucing

    Aneh juga. Masak kucing bisa mengucap salam? Tetapi begitulah adanya. Kucing juga makhluk yang punya rasa sosial. Jika terlihat pendatang baru, mereka saling uluk salam. Kulunuwum sek rek...

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

5.30.2020

Resonanse Gempa

 

            Gempa lagi. Gempa lagi. Oh Gempa lagi. Berapa banyak lagi umat manusia yang mati. Rintih nestapa di mana-mana. Di sini, aku mengelus dada. Semua tempat telah disinggahi bencana itu. Orang-orang jelata lagi. Nun di sana, tempat di mana orang-orang elit berdiam, masih seperti itu. Aman-aman saja. Di Jakarta, hiruk pikuk gelontor uang demi kepuasan kekuasaan sedang meliuk dan menari-nari.

Kadang terlintas pikiran semacam ini, kapan Jakarta digilirkan? Kapan, pusat-pusat korupsi, Kolusi, dan nepotisme terhantam gempuran gempa? Orang-orang di sana, masih gagah berdiri dengan keangkuhan terkuatnya. Seakan, di dunia ini, semua kuasa ada digenggamannya. Seakan, tak satu pun yang bisa menggoyang keberadaan polah mereka.

 “Jangan berpikir begitu,” sesuara mendadak tersimak. “gempa mereka beda lagi. Gempanya, adalah gempa batin. Gempa pikiran, gempa kehidupan. Gempa perasaan. Itu lebih memilukan ketimbang gempa lahir. Mereka-mereka, setiap detik kehidupannya tak kunjung mengecap nikmatnya kehidupan, saking sibuknya gempa yang mereka alami. Ah, kau tentu tidak tahu, bahwa para korban itu sedang dibantu Tuhan, bangkit dari keterpurukannya. Dengan badai kehilangan, mereka yang selama ini dianiaya penguasa, seketika dikobarkan semangat juangnya segera bangun tanpa bantuan, selain bantuan-Nya. Jangan dipikir pake akal sampean yang matematis gitu!.”

 “Sampean mengharap gempa di Jakarta ya? Kan ngesakno sing ra melu-melu” ah, ini suara temen sebelahku. Sejak tadi, nguping tulisan ini. Terus terang, aku merasa sangat terganggu.

            “Hehehe, loh merasa terganggu tah?”

            Welah. Begitulah, menulis diintip orang, emang banyak ujiannya. Mesti sing sabar wae.        “Mas, mbok diterusno tulisane kuwi!”

            “Loh, suka-sukaku. Kamu minggat ae kono. Jok, cidek-cidek aku!” kataku menyemprot.

            “Masak ada kata-kata pake semprotan? Bahasane keliru mas!”

            Busyet, ni orang. Usil sekali sih. Aku ini editor, tahu segala jenis kesalahan bahasa. Nggak perlu digurui.

            “Aku ini editor, tau!” akhirnya, aku membentaknya, muangkel.

           

            “Wuahaha! Wuahaha!! Editor kok diedit! Pulang lagi ke kampusmu, belajar lagi sana! Wuahaha…”

            Ini lagi, datang orang satu lagi. Bertambah pengacaunya. Sial. Ini sih, bencana kecil-kecilan. Halah, cuekin aja. Beberapa saat, datang manusia satu lagi. Ini dia, kawan lay-outku.

            “Apa ada kabar baik?” tanyaku spontan. Dia mesam-mesem.

            “Ada, tapi kabar yang nggak enak..” cetusnya sambil duduk.

            “Hei, ini sudah seminggu, bro!”

            “Telpon sendiri sana ke bagian keuangan!”

            Ini soal darurat. Hidup dan mati. Langsung saja kutelpon.

            “Mas, gajinya belum bisa turun. Tunggu, dua minggu lagi. Laporan belum masuk semua soale,” Sahut suara di sebrang lantai bawah.

Aku tertunduk nelongso. Ternyata, gempa itu tidak cuma satu jenis. Batin jika terkena gempa, juga bisa bikin berantakan yang juga tampak melalui mata batin.

            “Yang paling menakutkan dan menyeramkan itu.. bukan matinya fisik. Tetapi, kala matinya hati. Itulah gempa yang sesungguhnya!”

            Doh, ini suara berdenging terus di telinga. Suara-suara dalam batin itu keluar sekali lagi,

            “Makanya, kalo nulis itu dihayati. Gunakan hati, bukan logika saja! Jangan sok nganalisis. Selami dulu, pikiran-pikiran Tuhan. Baru, kau boleh menulis!”

 

            Gimana sih. Kapan selesai nulisnya? Jika ramai begini? Entahlah. Mugkin dia ada benarnya. Semua petaka yang melanda bangsa ini, tentu karena Tuhan sedang mengurus sesuatu bagi bangsa ini. Mengurus sesuatu yang lalai kagak diurus manusia dengan segala perangkatnya.

            “Betul itu mas!” sahut orang sebelahku lagi.

            “Loh, ngapain kamu masih duduk disini? aku lagi serius ini!” sentakku kesekian kali. Ni anak ribut terus wae. Nggak khusyuk jadinya.

            “La, iyya lo mas!” lanjutnya, “bisa jadi, Tuhan sedang menata alam yang sedang dirusak-rusak manusia. Tanah-tanah yang dirampas dari orang yang hak!”

            Aku melototinya tajam. Dia nyengir masam.

            “Gini, lo mas. Bangsa kita itu kaya sumber alam. Lah, kok dipake sakpenake dewe, ra didum-dum. Alam yang rusak itu, masih saja diekploitasi. Trus dimaem karepe dewe!”

Aku diam sejenak. Ada benarnya juga ni anak. Kita ini bangsa kaya raya. Tapi, rakyatnya penuh nestapa. Apa ini pembenahan langsung dari yang Maha? Artinya, alam sedang diolah lagi oleh-Nya menjadi baik kembali? Karena manusia makin melampaui batas?

Tiba-tiba aku teringat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Nabi Musa muring-muring, gara-gara Nabi Khidir membocorkan perahu, membunuh seorang pemuda, dan membetulkan dinding rumah tanpa minta dibayar sepeserpun di sebuah negeri yang kikir dan bakhil. Aduhai, Tuhanku. Hamba-Mu ini terlalu lemah pemahaman. Maka, luaskanlah. Agar, kami memetik intisari pikiran-pikiran Engkau. Ya, Tuhanku. Aku hanya sedang ingin menyelami kearifan itu. Agar, kami kembali ke jalur yang baik lagi benar. []

Share:

5.29.2020

sepulang dari dua pertemuan laut apakah ia masih mengunyah nyala?

bagaimana mula Engkau mengawali denyut?
jika yang Kau pinta bungkam
Membekap hujan
di kepala?

serupa bara
sebelum gerimis

denyut ini
adalah segumpal

dari yang tergetar
dan
ber
putar

betapa temaram ini
memang berdentum-
dentum

tak sabar pulang
dari alang kepalang? (metabolisme2020)

Share:

“Mandiri Menyambut Datangnya Panggilan Kematian’

Kapan datangnya kematian tidak ada yang mengetahui, sebab ia adalah rahasia Allah Swt. Karena itu, kematian harus dipersiapkan. Dengan demikian, saat maut benar-benar telah datang, kita bisa menyambutnya dengan sebaik-baik penyambutan.

Perlu diketahui bahwa bagaimana seseorang itu menyambut kematian, sangat tergantung kepada kebiasaan-kebiasaan kita selama menjalani kehidupan di dunia. Seseorang yang memiliki kebiasaan memaki-maki orang, maka ketika detik-detik ajal telah menjemput ia akan melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Ustad Prof. Dr. KH. Ali Aziz, MA dalam Pengajian Akbar di Masjid Cheng Hoo.

Sebaliknya, jika sepanjang perjalanan hidupnya ia memiliki kebiasaan yang baik, seperti kebiasaan bertasbih, berbuat baik, berdzikir atau bahkan punya kebiasaan membaca ayat-ayat Al-Quran, maka demikianlah pula kelak saat ajal datang menjemput. Ia akan menjemputnya dengan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut, di mana ia akan spontan mengisinya dengan berdzikir atau membaca ayat Al-Quran, katanya.

Ustad Ali Aziz lantas menceritakan salah satu pengalamannya ketika sedang menjenguk seorang pasien di sebuah rumah sakit. Ketika ajalnya menjemput dan kedua matanya mulai menutup, anehnya, dari mulutnya ia masih sempat-sempatnya membaca sebuah surat dalam Al-Quran, yaitu surat Yasin.

Rupa-rupanya, semasa beliaau masih hidup, membaca surat Yasin telah menjadi kebiasaannya sehari-hari. Hal ini ternyata tetap terbawa saat ajal atau kematian menjemputnya, katanya.

 

Melatih Kebiasaan

Setiap hamba tentunya berharap kebaikan dalam menghadapi ajal, sebagaimana seorang pasien yang mati dalam keadaan membaca surat Yasin. Tetapi tentu, tak setiap orang mengetahui langkah-langkah seperti apa untuk mempersiapkan. Menurut Ustad Ali Aziz, pertama-tama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kebiasaan sehari-hari.

Sebagaimana pasien yang wafat dalam keadaan membaca surat Yasin tadi, maka demikianlah kita. Marilah mulai dari sekarang kita biasakan untuk sering-sering baca yasin. Jadikanlah surat Yasin sebagai bacaan sehari-hari. Untuk apa?  Agar sewaktu kita mau meninggal, kebiasaan membaca surat Yasin tersebut dapat muncul sendiri, katanya. 

Ustad Ali Aziz melanjutkan, selain membiasakan sehari-hari membaca surat Yasin, bisa juga mensehari-harikan membaca kalimat-kalimat tauhid. Kita bisa melafalkan kalimat-kalimat tersebut di mana pun kita berada dan beraktivitas. Dengan demikian, saat ajal datang, spontanitas mulut kita pun melafalkan dzikir-dzikir kalimat tauhid.

Lakukan dalam aktivitas apapun kita. Ketika sedang jalan-jalan pagi, jadikanlah irama jantung berderak kalimat tauhid. Ketika sedang memasak, jadikanlah irama jantung berderak kalimat tauhid. Ketika sedang kumpul-kumpul, jadikanlah irama jantung berderak kalimat tauhid, katanya.

Di zaman sekarang yang serba gadged, lanjutnya, banyak orang yang mengabaikan waktu, yaitu dengan hanya menghabiskan waktu dengan gadgednya. Bahkan, ketika sedang kumpul-kumpul pun, masing-masing sibuk dengan gadgednya. Padahal, waktu-waktu tersebut bisa dimanfaatkan sedemikian baik dengan banyak berdzikir.

Jika kita memiliki waktu-waktu kosong, mari isi dengan membaca surat Yasin, kalimat-kalimat tauhid. Jangan lupa kalimat lailahaillah itu maknanya lebih besar dari alam semesta dan  isinya, katanya.

Sisi lain yang sangat penting dari melatih kebiasaan-kebiasaan beribadah di mana saja tersebut, jelas ustad Ali Aziz, tak lain agar kita memiliki kemandirian dalam menghadapi kematian kapan pun datangnya. Kita tak lagi menggantungkan diri pada orang-orang terdekat kita untuk mengingatkan atau mengajak kita untuk melafalkan kalimat tauhid.

Sebab apa? Kapan waktu kematian tidak ada yang tahu, kecuali Allah saja, katanya.  

 

 

 

Share:

KH. Zainuddin Husni , ‘Jalan Takwa yang Hakiki’

Keimanan dan ketakwaan seorang hamba atas Tuhannya sesungguhnya bisa dirasakan melalui terjaganya lisan maupun perbuatan. Buahnya adalah rasa aman dan ketentraman di mana pun lingkungan ia berada.

Kondisi demikian hanya bisa dicapai jika seorang hamba mampu mengamalkan ritual-ritual ibadah secara kaffah atau bersifat totalitas. Hanya saja, sebagian orang, adakalanya melakukan ritual ibadah hanya melibatkan lahiriahnya semata, tetapi batinnya tidak ikut diikutsertakan. Walhasil keberkahan ibadah bisa tidak berbekas

 “Misalnya, ada di antara kita yang menjalankan ritual-ritual ibadah secara istiqamah, shalat wajib maupun sunnahnya lengkap, namun lisan maupun perbuatannya masih saja tetap senang menjatuhkan orang lain. Masih saja suka membicarakan aib orang lain di hadapan yang lainnya,” demikian dikemukakan oleh KH. Zainuddin Husni dalam pengajian akbar dwi bulanan yang rutin digelar takmir Masjid Cheng Hoo.  

Ditambahkan Kiai Zainuddin, hal tersebut bisa terjadi dikarenakan terjebak hanya fokus melakukan ritual-ritual keagamaan, tanpa merasa perlu mendalami artinya dalam kehidupan yang nyata. Karena itu, adalah sangat penting untuk menyelami ajaran agama secara menyeluruh.

“Sehingga, kita tidak hanya paham kulit luarnya saja, tetapi juga dapat memahami isi atau maknanya sekaligus,” katanya.

Karena itu, tambahnya, setiap muslim harus mau belajar untuk menambah ilmu-ilmu agama sampai menemukan inti sarinya. Menurutnya, ada banyak jalan agar antara ritual ibadah bisa menyatu dengan kualitas maknanya. Di antaranya adalah dengan menghadiri majelis-majelis taklim atau dekat dengan para ulama, sehingga wawasan spiritual keagamaan pun semakin bertambah. 

“Dengan demikian, selain menguasai kandungan maknanya, kita pun dapat mengetahui bagaimana cara untuk mengamalkannya secara tepat dan benar dalam kehidupan nyata,” katanya.

Kiai Zainuddin lantas mencontohkan nilai-nilai dasar yang diberikan oleh Allah terhadap diri manusia yang memiliki sifat fitrah lupa dan bisa melakukan kesalahan. Di sisi lain, hanya Allahlah yang menyatakan memiliki kesempurnaan tanpa cela.

“Bahwa yang namanya manusia, adakalanya ia memang tidak bisa luput dari kesalahan atau kekeliruan. Melihat orang lain berbuat keliru, kita tidak lagi terlalu gampang mengeluarkan ucapan yang dapat melukai atau menjatuhkan. Menyadari bahwa Allahlah yang memiliki kesempurnaan maka lisan maupun perbuatan dengan sendirinya akan terjaga dari hal-hal yang jelek,” katanya.       

Maka, lanjutnya, ketika seorang hamba sedang menghadap kepada Tuhannya dalam kewajiban shalat lima waktu, maka harus pula melibatkan pikiran maupun batinnya yang mana harus sepenuhnya tunduk dan ikhlas, memasrahkan segalanya untuk mengakui sifat-sifat kehambaannya yang lemah dan tiada daya kepada yang Mahakuasa.

“Hadirkan dan libatkan hati yang ikhlas dan niat yang tulus, yaitu hanya demi meraih ridhanya Allah. Cintanya Allah. Dan benar-benar mengharap pengampunannya Allah atas semua kelemahan kita sebagai seorang hamba. Di hadapan Allah, jiwa-raga kita tunduk atas segala kemaha-besaranNya dalam setiap peristiwa kehidupan,” katanya. 

Kesadaran sebagai seorang hamba yang lemah dan bisa melakukan kekeliruan kapan saja tanpa disengaja, jelas Kiai Zainuddin, selanjutnya akan mampu menimbulkan sifat dan sikap rendah hati dan mudah memaafkan kepada siapa saja, tidak memandang pangkat atau kedudukan. Sebab di hadapan Allah, semua makhluk sama derajatnya.

“Nah, sebagian kita, masih memandang ritual ibadah dari segi lahiriahnya. Padahal yang Allah nilai, terutama adalah keterlibatan batin kita dalam beribadah. Sikap kita dalam sehari-hari. Maka, jika saja di saat shalat misalnya, tetapi batin kita tidak benar-benar tunduk dan ikhlas melakukannya. Makanya, wajar jika manfaat shalat tidak menimbulkan bekas sama sekali,” katanya.

Share:

3.08.2020

Cinta Tak Lantas Jodohmu

Aku sangat bersyukur. Malam ini hujan tak turun lagi seperti kemaren malam. Tak apalah meskipun ini malam Senin, bukan malam Minggu. Tekad ini harus segera kugenapkan. Sebenarnya sudah kesekian kali kurencanakan sih, tapi ya bagaimana lagi. Rasa berani ini munculnya barus sekarang. Amelia, apa kabarmu di musim penghujan ini?

doc-ukhtiirgiaulia.blogspot.com


Aku gugup. Bajuku mulai basah oleh keringat. Amelia menyambutku dengan senyum khasnya. Dua lesung pipitnya itu. Aduhai Tuhan indah sekali. Kami kemudian duduk. Tak saling bicara.


"Kok diam terus sedari tadi mas? Biasanya kan

Share:

'Dear Mantan'


Menyerupai gelap yang menyelimuti malam, dan penggalan bulan yang meruncing di atas langit. Menimbulkan bias-bias cahaya di beberapa ruang. Inspirasi yang sempurna. Kurasa seperti itu. Rasaku padamu. Saat melihatmu kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka. Haruskah kubilang, pertemuan kita ini membuat cinta ini lebih mekar ketimbang yang dulu?

“Kau tahu? Sebuah pelukan darimu akan sangat berarti bagiku malam ini,” katamu. Batinku serasa beraduk. Adakah kau merasakan perasaan yang sama denganku? Kau menatapku. Napasku tersendat di dada. Tatapan mata itu. Membuat diriku seakan tenggelam di dasar kedalaman laut. Perlahan aku menata keluarnya napas yang tertunda.

“Aku tahu. Ya, aku tahu. Kau tidak mungkin memelukku malam ini...” ucapmu lagi. Mukamu tertunduk. Mengitari tebaran pasir. Tanganmu lantas mengaduk-aduk pasir, dan menghempas-hempaskannya ke udara. Sebetulnya nona, aku ingin sekali mengutarakan sejumlah tautan hatiku padamu. Namun kerongkongan ini bak digandoli ketela satu karung. Lebih-lebih ketika mukamu kau angkat ke atas. Butiran bening jatuh dari pipimu.

“Sungguh. Tidakkah kau ingin memelukku?” katamu setelah itu. Kupejam mata sekilas, deru napasku lagi-lagi tertahan di dada. Ada luapan-luapan yang mustahil kuperlihatkan padamu. Apalagi, tanganmu tiba-tiba menggamit tanganku. Jantungku berdenyut-denyut. “Aku betul-betul rindu sama kamu. Aku, aku...” katamu sembari menahan sesungguk. Aku membiarkan dua tanganmu menggegam telapak tanganku. Dengan bergetar kau cium tanganku.

“Aku ingin memelukmu sekali saja...” kembali kau ulang permintaan itu, sedang aku tetap memilih diam membeku. Sesunggukmu terhenti. Kau hapus simbah airmatamu. Hanya napas yang kurasakan mengekang. Menggagalkan setiap desir yang beruntun bergolak di dada. Aku ingin semua segera memiliki akhir, yang paling terakhir.

“Baiklah. Kuutarakan saja padamu. Kuharap kau betul-betul mendengarkannya...”
“Tanpa kau utarakan sekalipun, aku sudah mengetahuinya,” akhirnya untuk pertama kalinya, aku memberimu sejumlah sahutan. “Kau pikir, hanya kamu yang mengharapkan pertemuan yang tidak terduga ini?”
“Maksud kamu....”

Aku menganggukkan kepala sebelum kau meneruskan ucapan.

“Semua itu sudah menjadi masa lalu,” kataku, “Namun nyatanya kita tidak betul-betul mampu mengabaikannya dalam ingatan. Kamu juga setuju kan?” kau pun lantas mengangguk. “Dan aku sadar, kalaupun kau ingin memelukku, semata karena kerinduan seorang sahabat. Iya kan?” lagi-lagi kau mengangguk. “Meskipun begitu, aku tetap bukan lelakimu. Dirimu pun bukan perempuanku, suatu hal yang membuat sebuah pelukan tidak sah untuk kita lakukan”.

“Mungkin itu iya, namun tidak benar seluruhnya,” katamu menyahut. “Aku mencintai lelakiku, namun hati lelakiku masih berbekas oleh perempuan yang selainku. Itu sulit kuterima...”

“Lalu, mengapa sebuah pelukan ingin kau berikan untukku?”
“Itu... itu... karena baru tersadar olehku. Betapa besar cintamu padaku di masa itu. Namun, nyatanya kau selalu kuanggap angin lalu. Aku meninggalkanmu dengan alasan aku tak pantas untukmu, sedang alasan sebenarnya? Karena aku telah jatuh cinta pada lelaki yang lain. Ya, lelaki yang kini jadi suamiku...”

Aku menahan napas. Entahlah. Haruskah aku marah setelah mengetahui semua alasan itu? Ingin kusanggah dirimu, namun urung kulakukan. Kulihat kau masih ingin melanjutkan perkataan. Mungkin seharusnya aku mengalah, dan membiarkannya untuk terus berbicara lebih banyak dariku.

“Dan sekarang?” lanjutmu kemudian, “Saat aku mencintai seseorang, dan aku berhasil memilikinya? Ternyata baru kusadari bahwa memiliki orang yang kita cintai, tidak otomatis memiliki jiwanya, juga perasaannya. Suamiku memang tidak pernah selingkuh, tetapi apalah arti memiliki? Sekiranya batinnya gagal kumiliki?”

“Ya. Aku pun sempat merasakan hal seperti itu. Memiliki seseorang, namun hatinya dimiliki oleh orang lain...” aku menimpali. Kau langsung tertunduk. Kembali sesunggukan. Kembali juga kau genggam tanganku dengan erat.

“Pelukan itu adalah bentuk penyesalan dariku. Aku ingin kau memaafkanku, yang telah melukaimu di masa silam...” sahutmu. Aku mengangkat wajahmu. Kemudian memintamu melihatku. “Kembalilah pada suamimu. Dia butuh kamu...” kataku. “Rasa bersalahmu padaku selama ini, sebetulnya itulah yang telah menjadikan suamimu kembali terkenang-kenang lagi oleh mantan-nya yang sebelum kamu itu...”

Kau terhenyak, seperti kaget dengan kalimatku. Kedua matamu tiba-tiba menyipit. Membuat dua alis tebalmu menyatu.  “Ma... mak.,, sudmu???”

“Rasa bersalahmu itu, diam-diam telah membuat pikiranmu terforsir kepikiran aku, ketimbang kepikiran tentang suamimu. Itu secara tidak langsung dapat membuat suamimu kehilangan tempat bersandar, sehingga ia membuat masa lalunya sebagai pelarian yang menyenangkan...” kataku dengan kalimat yang panjang. Kuharap pertemuan segera berakhir.

Sebab apa? Karena aku sadar, bertemu mantan itu menyimpan dua sisi; sekelumit keindahan nostalgia, yang seringkali berakhir kemelut. (Wonocolo,  2016)
Share:

3.06.2020

Pengasuh Anak Kami


  
Umur Sana sudah hampir setengah tahun. Usia lucu-lucunya. Ia menjadi pemudar lelah, letih, dan penyegar pikiran bagi kami, kedua orang tuanya, setiap kali pulang kerja. Sebenarnya, aku ingin ajak tinggal bersamaku sembari menjaga dan mengasuh Sana. Tokh, di kampung juga lebih banyak sendiri. Usianya terlalu sepuh untuk mondar-mandir meski sekedar ke tetangga. Bapak sendiri sudah wafat 1 tahun lalu setelah Hartin, adik bungsuku, lahir.
            Untunglah Hartin juga sudah bekerja. Namun ia lebih sering pulang larut. Makanya, kupikir baiknya ibu tinggal bersamaku, maka Ibu tidak akan lagi kesepian. Ia bisa bermain dan terhibur dengan kehadiran Sana. Lebih-lebih, di kampung Ibu juga sudah tidak bekerja.
            Mulanya, Ibu tidak bersedia tinggal bersamaku di kota. Kami berdua kerap memintanya berhenti jadi pedagang. Soal uang biar kami yang menggenapi. Buat apa susah-susah cari uang, wong anak-anaknya juga sudah punya kerja semua. Sudah mampu membiayai hidupnya! Namun Ibu bersikukuh mau cari uang sendiri. Baginya, biarlah ia sendiri yang mencukupi dirinya sendiri, tanpa harus merepotkan anak-anaknya.
            Aku dan suami akhirnya memutuskan mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.
             
******
            Sejak sebelum Sana dilahirkan, kami sudah berembug soal bagaimana cara mengasuh bayi kami jika nanti sudah lahir. Suamiku memintaku mengurangi aktivitas mengajar, atau kalau perlu berhenti saja secara total. Sebab, ia ingin Sana nantinya tidak dibesarkan oleh seorang pengasuh. Lagi-lagi, suami menyerah setelah kembali kuutarakan kesepakatan yang kami buat semasa pacaran. Untunglah, ketika ibu belum bersedia ke kota, datang Ipah sebagai pengasuh anak kami.
            Ipah orangnya cekatan. Sebab, sepulang kantor, nyatanya dia tak hanya mengasuh anak kami. Tetapi juga membuat rapi dan bersih seluruh isi rumah. Tanpa diminta ia melakukannya. Bahkan, termasuk mencuci baju kami. Ia hanya bertahan 2,5 bulan mengasuh anak. Aku meminta suami agar memberhentikannya.
            “Mengapa? Apakah ia sudah berbuat salah?” aku menggeleng. “Kupikir ayah benar, anak mestinya nggak diasuh orang lain. Betul kan? Bagaimana kalau yang mengasuh Sana adalah Ibuku?” Suamiku terdiam, sesaat kemudian dia mengangguk-angguk. “Terserah Bunda sajalah. Kalau menurutmu itu baik, ayah ikut saja..”
            Suamiku mungkin tidak menyangka alasan sebenarnya. Sebulan mengasuh anak kami, pelan-pelan ia tampil beda. Ia mulai memakai baju seadanya. Keluar kamar mandi ia hanya pake handuk, mengepel lantai memakai pakaian tidur. Mungkin ia melakukannya tidak sengaja. Mungkin saja ia sudah menganggap rumah kami layaknya rumah sendiri. Ipah memang sangat lugu dan polos. Ia juga hanya tamat SD.
            Namun, gimana pun juga, aku tetap merasa cemburu. Merasa takut perhatian suami tiba-tiba tertuju pada Ipah. Aku sadar. Ini pikiran konyol, tetapi aku tetap tak bisa menutupi golakan hati. Sebagai jaga-jaga, Ipah akan benar-benar berhenti jadi pengasuh, diam-diam aku terus rayu Ibu biar tinggal bersama kami. Ibu baru berhasil luluh manakala mendengar akan mengasuh anak kami. Kami pun menjemput Ibu sebelum Ipah pergi dari rumah kami.  
            ******
           
            Semakin beranjak usia, semakin terlihat adanya kemiripan Sana dengan kedua orang tuanya. Kami sering membanding-bandingkan di mana saja kemiripannya dengan kami berdua. Kurasa dua bola mata Sana sangat mirip ayahnya. Kata orang-orang, alisnya yang tebal menyerupai alisku, bundanya. Tetapi rambutnya tak ada yang mirip kami berdua. Rambut Sana lurus. Hitam, dan kuat. Sementara, rambutku tidak lurus, tetapi bergelombang. Dan rambut ayahnya sedikit keriting.
            “Itu lebih mirip rambut ibu,” kata Hartin, adik di bawahku ketika datang ke rumah kami. Hartin memang benar, tetapi rambut ibu tidak sehitam rambut Sana. Kami seringkali tertawa jika sudah berbincang yang khas-khas dari bayi kami. Maklum, Sana merupakan anak pertamaku. Cucu pertama ibu, karena aku adalah anak sulung. Adikku meski sudah usia 28 tahun, tetapi dia belum juga menikah. Padahal, dia sudah gonta-ganti pacar sampai tujuh kali.
            Wajar, dia memiliki wajah yang cantik, juga manis. Walaupun aku sendiri menikah di usia 31 tahun, tetapi aku pacaran ya cuma sama suamiku yang sekarang. Kami menikah setelah aku selesai magister ekonomi di perguruan tinggi di Jogjakarta. Baru setelah berhasil lolos diterima menjadi dosen, aku menyatakan siap menikah. Suamiku sendiri adalah seorang dokter.
            Sebagai sepasang suami-istri yang sama-sama bekerja dan meniti karir, kesibukan padat, dan sama-sama pulang malam, menjadikan kami tidak sempat memiliki waktu panjang yang banyak. Terlebih, suami terkadang mendapat tugas dinas luar kota.
            “Sebenarnya, ayah pengen bunda mengurangi aktivitas mengajar. Cukuplah ayah yang sibuk. Mencari tambahan nafkah. Tokh secara penghasilan kan gaji ayah sudah lebih dari cukup? ” kata suamiku suatu hari.
            “Apa sudah lupa kesepakatan yang ayah buat sendiri sebelum menikah?” kataku balik bertanya. Ia tertegun. Lama ia berdiam diri. Aku mesam-mesem. Itulah kata kunci setiap kali dia pertanyakan soal waktuku. Sebab, itu bukanlah suatu pertanyaan yang pertama. Sudah berkali-kali. Dan jawaban itu selalu berhasil menghapus pertanyaan dia selanjutnya. Tentu ia sadar, dulu aku menerimanya karena dia bersedia menerimaku apa adanya. Menerima diriku yang mungkin tak seperti wanita lain. Waktuku yang habis buat kuliah, buat mencari ilmu dan terlibat dalam beberapa aktivitas organisasi.
            “Ayah tetap ingat kesepakatan itu. Ayah hanya rindu kita memiliki waktu kebersamaan yang lebih banyak. Ingin sepulang kerja ada yang menyambutku dengan pelukan hangat. Ingin setiap kali pulang kerja, melihatmu tampil segar-bugar. Penuh senyuman. Lagipula, kan masih bisa ikut kegiatan selain dunia karir?” katanya sembari bertanya lirih. Aku menahan napas. Ada yang membuncah di dada, serasa ingin tumpah. Tetapi jika aku mengiyakannya, tentu akan berpengaruh pada profesiku sebagai seorang dosen.
            Kudengar suamiku menarik napas. Tatapan matanya kosong, terlempar hingga ke halaman rumah. Aku tak tahu apa yang dirasakannya. “Setiap kali pulang kerja, selalu saja aku melihatmu lelah. Terlelap. Dan keesokan harinya, belum sempat kita bicara, sudah terancam waktu mengajarmu. Aku memang tak bisa memintamu mengamini keinginanku. Ini hanya cuma soal isi hatiku saja..” tambahnya. Aku hanya bisa menunduk saja kala itu.
            “Melamun mbak? Kok kayaknya serius banged???” aku terhenyak. Hartin tertawa lebar. Malu juga ketahuan sedang melamun. Hartin tiba-tiba beranjak dari kasur. “Eh, Ibu nggak kelihatan sedari tadi mbak?” tanyanya.  Sewaktu sampai di rumah, Hartin memang tidak langsung ketemu Ibu. Melihatku sedang menggendong Sana, ia langsung minta ganti menggendong.
            “Jam segini, ya sudah tidur Hartin..” sahutku. Maklum, Hartin tiba sehabis Isya. Sementara Ibu selepas shalat isya, langsung istirahat setelah seharian mengurus Sana. Aku sendiri segera setelah pulang kerja, sudah kujadwal bahwa waktu-waktu yang sedikit itu harus lebih banyak bersama Sana.
            “Ibu pastinya lelah Tin. Kan seharian bersama Sana..” tambahku. Hartin manggut-manggut. Ia kemudian batuk-batuk, lalu kembali duduk di atas sisi ranjang. Raut mukanya tampak murung.
            “Kenapa Tin? Apa sedang ada masalah?” tanyaku. Hartin menggeleng.
            “Sampai kita sama-sama dewasa begini, kita masih terus merepotkan Ibu ya?” katanya lirih seperti sedang bicara dengan diri sendiri. “Waktu Ibu masih di kampung bersamaku, aku tak merawatnya dengan baik. Mengurus makanannya, bajunya, atau membantunya di dapur. Bahkan, masak pun, Ibu yang memasakkannya! Sementara aku, selepas kerja tinggal makan saja. Aku menyadari setelah ibu bersamamu..”
            Hartin tiba-tiba terisak. Matanya sembab. Aku terdiam bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Terlebih, setelah aku sendiri sadar akan kebenaran ucapan Hartin. Ya Hartin benar. Sejak mulai dari dalam kandungan Ibu melayani kami berdua tanpa Ayah, bekerja mencari nafkah untuk kami. Dan, bahkan saat ini pun, ketika aku punya anak, Ibu masih terus melayani aku, anaknya. Lantas, kapan saatnya aku melayani dan membahagiakan Ibu?[]

Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support