menulis dengan jernih

5.30.2020

Resonanse Gempa

 

            Gempa lagi. Gempa lagi. Oh Gempa lagi. Berapa banyak lagi umat manusia yang mati. Rintih nestapa di mana-mana. Di sini, aku mengelus dada. Semua tempat telah disinggahi bencana itu. Orang-orang jelata lagi. Nun di sana, tempat di mana orang-orang elit berdiam, masih seperti itu. Aman-aman saja. Di Jakarta, hiruk pikuk gelontor uang demi kepuasan kekuasaan sedang meliuk dan menari-nari.

Kadang terlintas pikiran semacam ini, kapan Jakarta digilirkan? Kapan, pusat-pusat korupsi, Kolusi, dan nepotisme terhantam gempuran gempa? Orang-orang di sana, masih gagah berdiri dengan keangkuhan terkuatnya. Seakan, di dunia ini, semua kuasa ada digenggamannya. Seakan, tak satu pun yang bisa menggoyang keberadaan polah mereka.

 “Jangan berpikir begitu,” sesuara mendadak tersimak. “gempa mereka beda lagi. Gempanya, adalah gempa batin. Gempa pikiran, gempa kehidupan. Gempa perasaan. Itu lebih memilukan ketimbang gempa lahir. Mereka-mereka, setiap detik kehidupannya tak kunjung mengecap nikmatnya kehidupan, saking sibuknya gempa yang mereka alami. Ah, kau tentu tidak tahu, bahwa para korban itu sedang dibantu Tuhan, bangkit dari keterpurukannya. Dengan badai kehilangan, mereka yang selama ini dianiaya penguasa, seketika dikobarkan semangat juangnya segera bangun tanpa bantuan, selain bantuan-Nya. Jangan dipikir pake akal sampean yang matematis gitu!.”

 “Sampean mengharap gempa di Jakarta ya? Kan ngesakno sing ra melu-melu” ah, ini suara temen sebelahku. Sejak tadi, nguping tulisan ini. Terus terang, aku merasa sangat terganggu.

            “Hehehe, loh merasa terganggu tah?”

            Welah. Begitulah, menulis diintip orang, emang banyak ujiannya. Mesti sing sabar wae.        “Mas, mbok diterusno tulisane kuwi!”

            “Loh, suka-sukaku. Kamu minggat ae kono. Jok, cidek-cidek aku!” kataku menyemprot.

            “Masak ada kata-kata pake semprotan? Bahasane keliru mas!”

            Busyet, ni orang. Usil sekali sih. Aku ini editor, tahu segala jenis kesalahan bahasa. Nggak perlu digurui.

            “Aku ini editor, tau!” akhirnya, aku membentaknya, muangkel.

           

            “Wuahaha! Wuahaha!! Editor kok diedit! Pulang lagi ke kampusmu, belajar lagi sana! Wuahaha…”

            Ini lagi, datang orang satu lagi. Bertambah pengacaunya. Sial. Ini sih, bencana kecil-kecilan. Halah, cuekin aja. Beberapa saat, datang manusia satu lagi. Ini dia, kawan lay-outku.

            “Apa ada kabar baik?” tanyaku spontan. Dia mesam-mesem.

            “Ada, tapi kabar yang nggak enak..” cetusnya sambil duduk.

            “Hei, ini sudah seminggu, bro!”

            “Telpon sendiri sana ke bagian keuangan!”

            Ini soal darurat. Hidup dan mati. Langsung saja kutelpon.

            “Mas, gajinya belum bisa turun. Tunggu, dua minggu lagi. Laporan belum masuk semua soale,” Sahut suara di sebrang lantai bawah.

Aku tertunduk nelongso. Ternyata, gempa itu tidak cuma satu jenis. Batin jika terkena gempa, juga bisa bikin berantakan yang juga tampak melalui mata batin.

            “Yang paling menakutkan dan menyeramkan itu.. bukan matinya fisik. Tetapi, kala matinya hati. Itulah gempa yang sesungguhnya!”

            Doh, ini suara berdenging terus di telinga. Suara-suara dalam batin itu keluar sekali lagi,

            “Makanya, kalo nulis itu dihayati. Gunakan hati, bukan logika saja! Jangan sok nganalisis. Selami dulu, pikiran-pikiran Tuhan. Baru, kau boleh menulis!”

 

            Gimana sih. Kapan selesai nulisnya? Jika ramai begini? Entahlah. Mugkin dia ada benarnya. Semua petaka yang melanda bangsa ini, tentu karena Tuhan sedang mengurus sesuatu bagi bangsa ini. Mengurus sesuatu yang lalai kagak diurus manusia dengan segala perangkatnya.

            “Betul itu mas!” sahut orang sebelahku lagi.

            “Loh, ngapain kamu masih duduk disini? aku lagi serius ini!” sentakku kesekian kali. Ni anak ribut terus wae. Nggak khusyuk jadinya.

            “La, iyya lo mas!” lanjutnya, “bisa jadi, Tuhan sedang menata alam yang sedang dirusak-rusak manusia. Tanah-tanah yang dirampas dari orang yang hak!”

            Aku melototinya tajam. Dia nyengir masam.

            “Gini, lo mas. Bangsa kita itu kaya sumber alam. Lah, kok dipake sakpenake dewe, ra didum-dum. Alam yang rusak itu, masih saja diekploitasi. Trus dimaem karepe dewe!”

Aku diam sejenak. Ada benarnya juga ni anak. Kita ini bangsa kaya raya. Tapi, rakyatnya penuh nestapa. Apa ini pembenahan langsung dari yang Maha? Artinya, alam sedang diolah lagi oleh-Nya menjadi baik kembali? Karena manusia makin melampaui batas?

Tiba-tiba aku teringat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Nabi Musa muring-muring, gara-gara Nabi Khidir membocorkan perahu, membunuh seorang pemuda, dan membetulkan dinding rumah tanpa minta dibayar sepeserpun di sebuah negeri yang kikir dan bakhil. Aduhai, Tuhanku. Hamba-Mu ini terlalu lemah pemahaman. Maka, luaskanlah. Agar, kami memetik intisari pikiran-pikiran Engkau. Ya, Tuhanku. Aku hanya sedang ingin menyelami kearifan itu. Agar, kami kembali ke jalur yang baik lagi benar. []

Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support