menulis dengan jernih

5.29.2020

KH. Zainuddin Husni , ‘Jalan Takwa yang Hakiki’

Keimanan dan ketakwaan seorang hamba atas Tuhannya sesungguhnya bisa dirasakan melalui terjaganya lisan maupun perbuatan. Buahnya adalah rasa aman dan ketentraman di mana pun lingkungan ia berada.

Kondisi demikian hanya bisa dicapai jika seorang hamba mampu mengamalkan ritual-ritual ibadah secara kaffah atau bersifat totalitas. Hanya saja, sebagian orang, adakalanya melakukan ritual ibadah hanya melibatkan lahiriahnya semata, tetapi batinnya tidak ikut diikutsertakan. Walhasil keberkahan ibadah bisa tidak berbekas

 “Misalnya, ada di antara kita yang menjalankan ritual-ritual ibadah secara istiqamah, shalat wajib maupun sunnahnya lengkap, namun lisan maupun perbuatannya masih saja tetap senang menjatuhkan orang lain. Masih saja suka membicarakan aib orang lain di hadapan yang lainnya,” demikian dikemukakan oleh KH. Zainuddin Husni dalam pengajian akbar dwi bulanan yang rutin digelar takmir Masjid Cheng Hoo.  

Ditambahkan Kiai Zainuddin, hal tersebut bisa terjadi dikarenakan terjebak hanya fokus melakukan ritual-ritual keagamaan, tanpa merasa perlu mendalami artinya dalam kehidupan yang nyata. Karena itu, adalah sangat penting untuk menyelami ajaran agama secara menyeluruh.

“Sehingga, kita tidak hanya paham kulit luarnya saja, tetapi juga dapat memahami isi atau maknanya sekaligus,” katanya.

Karena itu, tambahnya, setiap muslim harus mau belajar untuk menambah ilmu-ilmu agama sampai menemukan inti sarinya. Menurutnya, ada banyak jalan agar antara ritual ibadah bisa menyatu dengan kualitas maknanya. Di antaranya adalah dengan menghadiri majelis-majelis taklim atau dekat dengan para ulama, sehingga wawasan spiritual keagamaan pun semakin bertambah. 

“Dengan demikian, selain menguasai kandungan maknanya, kita pun dapat mengetahui bagaimana cara untuk mengamalkannya secara tepat dan benar dalam kehidupan nyata,” katanya.

Kiai Zainuddin lantas mencontohkan nilai-nilai dasar yang diberikan oleh Allah terhadap diri manusia yang memiliki sifat fitrah lupa dan bisa melakukan kesalahan. Di sisi lain, hanya Allahlah yang menyatakan memiliki kesempurnaan tanpa cela.

“Bahwa yang namanya manusia, adakalanya ia memang tidak bisa luput dari kesalahan atau kekeliruan. Melihat orang lain berbuat keliru, kita tidak lagi terlalu gampang mengeluarkan ucapan yang dapat melukai atau menjatuhkan. Menyadari bahwa Allahlah yang memiliki kesempurnaan maka lisan maupun perbuatan dengan sendirinya akan terjaga dari hal-hal yang jelek,” katanya.       

Maka, lanjutnya, ketika seorang hamba sedang menghadap kepada Tuhannya dalam kewajiban shalat lima waktu, maka harus pula melibatkan pikiran maupun batinnya yang mana harus sepenuhnya tunduk dan ikhlas, memasrahkan segalanya untuk mengakui sifat-sifat kehambaannya yang lemah dan tiada daya kepada yang Mahakuasa.

“Hadirkan dan libatkan hati yang ikhlas dan niat yang tulus, yaitu hanya demi meraih ridhanya Allah. Cintanya Allah. Dan benar-benar mengharap pengampunannya Allah atas semua kelemahan kita sebagai seorang hamba. Di hadapan Allah, jiwa-raga kita tunduk atas segala kemaha-besaranNya dalam setiap peristiwa kehidupan,” katanya. 

Kesadaran sebagai seorang hamba yang lemah dan bisa melakukan kekeliruan kapan saja tanpa disengaja, jelas Kiai Zainuddin, selanjutnya akan mampu menimbulkan sifat dan sikap rendah hati dan mudah memaafkan kepada siapa saja, tidak memandang pangkat atau kedudukan. Sebab di hadapan Allah, semua makhluk sama derajatnya.

“Nah, sebagian kita, masih memandang ritual ibadah dari segi lahiriahnya. Padahal yang Allah nilai, terutama adalah keterlibatan batin kita dalam beribadah. Sikap kita dalam sehari-hari. Maka, jika saja di saat shalat misalnya, tetapi batin kita tidak benar-benar tunduk dan ikhlas melakukannya. Makanya, wajar jika manfaat shalat tidak menimbulkan bekas sama sekali,” katanya.

Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support