menulis dengan jernih

  • Cinta tak Lantas Jodohmu

    Amel langsung senyap. Tak ada suara dari mulutnya. Tiba-tiba kudengar ia sesunggukan. Kuangkat kepala. Oh Tuhan. Kok dia yang malah menangis? Meskipun diriku lelaki, tetapi soal patah hati, lelaki juga punya hak yang sama untuk menangis bukan?

  • Pengasuh Anak Kami

    Aku dan suami akhirnya memutuskan mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.

  • Dear Mantan

    Rasaku padamu. Saat melihatmu kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka.

  • Salam Ala Kucing

    Aneh juga. Masak kucing bisa mengucap salam? Tetapi begitulah adanya. Kucing juga makhluk yang punya rasa sosial. Jika terlihat pendatang baru, mereka saling uluk salam. Kulunuwum sek rek...

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

5.30.2020

Resonanse Gempa

 

            Gempa lagi. Gempa lagi. Oh Gempa lagi. Berapa banyak lagi umat manusia yang mati. Rintih nestapa di mana-mana. Di sini, aku mengelus dada. Semua tempat telah disinggahi bencana itu. Orang-orang jelata lagi. Nun di sana, tempat di mana orang-orang elit berdiam, masih seperti itu. Aman-aman saja. Di Jakarta, hiruk pikuk gelontor uang demi kepuasan kekuasaan sedang meliuk dan menari-nari.

Kadang terlintas pikiran semacam ini, kapan Jakarta digilirkan? Kapan, pusat-pusat korupsi, Kolusi, dan nepotisme terhantam gempuran gempa? Orang-orang di sana, masih gagah berdiri dengan keangkuhan terkuatnya. Seakan, di dunia ini, semua kuasa ada digenggamannya. Seakan, tak satu pun yang bisa menggoyang keberadaan polah mereka.

 “Jangan berpikir begitu,” sesuara mendadak tersimak. “gempa mereka beda lagi. Gempanya, adalah gempa batin. Gempa pikiran, gempa kehidupan. Gempa perasaan. Itu lebih memilukan ketimbang gempa lahir. Mereka-mereka, setiap detik kehidupannya tak kunjung mengecap nikmatnya kehidupan, saking sibuknya gempa yang mereka alami. Ah, kau tentu tidak tahu, bahwa para korban itu sedang dibantu Tuhan, bangkit dari keterpurukannya. Dengan badai kehilangan, mereka yang selama ini dianiaya penguasa, seketika dikobarkan semangat juangnya segera bangun tanpa bantuan, selain bantuan-Nya. Jangan dipikir pake akal sampean yang matematis gitu!.”

 “Sampean mengharap gempa di Jakarta ya? Kan ngesakno sing ra melu-melu” ah, ini suara temen sebelahku. Sejak tadi, nguping tulisan ini. Terus terang, aku merasa sangat terganggu.

            “Hehehe, loh merasa terganggu tah?”

            Welah. Begitulah, menulis diintip orang, emang banyak ujiannya. Mesti sing sabar wae.        “Mas, mbok diterusno tulisane kuwi!”

            “Loh, suka-sukaku. Kamu minggat ae kono. Jok, cidek-cidek aku!” kataku menyemprot.

            “Masak ada kata-kata pake semprotan? Bahasane keliru mas!”

            Busyet, ni orang. Usil sekali sih. Aku ini editor, tahu segala jenis kesalahan bahasa. Nggak perlu digurui.

            “Aku ini editor, tau!” akhirnya, aku membentaknya, muangkel.

           

            “Wuahaha! Wuahaha!! Editor kok diedit! Pulang lagi ke kampusmu, belajar lagi sana! Wuahaha…”

            Ini lagi, datang orang satu lagi. Bertambah pengacaunya. Sial. Ini sih, bencana kecil-kecilan. Halah, cuekin aja. Beberapa saat, datang manusia satu lagi. Ini dia, kawan lay-outku.

            “Apa ada kabar baik?” tanyaku spontan. Dia mesam-mesem.

            “Ada, tapi kabar yang nggak enak..” cetusnya sambil duduk.

            “Hei, ini sudah seminggu, bro!”

            “Telpon sendiri sana ke bagian keuangan!”

            Ini soal darurat. Hidup dan mati. Langsung saja kutelpon.

            “Mas, gajinya belum bisa turun. Tunggu, dua minggu lagi. Laporan belum masuk semua soale,” Sahut suara di sebrang lantai bawah.

Aku tertunduk nelongso. Ternyata, gempa itu tidak cuma satu jenis. Batin jika terkena gempa, juga bisa bikin berantakan yang juga tampak melalui mata batin.

            “Yang paling menakutkan dan menyeramkan itu.. bukan matinya fisik. Tetapi, kala matinya hati. Itulah gempa yang sesungguhnya!”

            Doh, ini suara berdenging terus di telinga. Suara-suara dalam batin itu keluar sekali lagi,

            “Makanya, kalo nulis itu dihayati. Gunakan hati, bukan logika saja! Jangan sok nganalisis. Selami dulu, pikiran-pikiran Tuhan. Baru, kau boleh menulis!”

 

            Gimana sih. Kapan selesai nulisnya? Jika ramai begini? Entahlah. Mugkin dia ada benarnya. Semua petaka yang melanda bangsa ini, tentu karena Tuhan sedang mengurus sesuatu bagi bangsa ini. Mengurus sesuatu yang lalai kagak diurus manusia dengan segala perangkatnya.

            “Betul itu mas!” sahut orang sebelahku lagi.

            “Loh, ngapain kamu masih duduk disini? aku lagi serius ini!” sentakku kesekian kali. Ni anak ribut terus wae. Nggak khusyuk jadinya.

            “La, iyya lo mas!” lanjutnya, “bisa jadi, Tuhan sedang menata alam yang sedang dirusak-rusak manusia. Tanah-tanah yang dirampas dari orang yang hak!”

            Aku melototinya tajam. Dia nyengir masam.

            “Gini, lo mas. Bangsa kita itu kaya sumber alam. Lah, kok dipake sakpenake dewe, ra didum-dum. Alam yang rusak itu, masih saja diekploitasi. Trus dimaem karepe dewe!”

Aku diam sejenak. Ada benarnya juga ni anak. Kita ini bangsa kaya raya. Tapi, rakyatnya penuh nestapa. Apa ini pembenahan langsung dari yang Maha? Artinya, alam sedang diolah lagi oleh-Nya menjadi baik kembali? Karena manusia makin melampaui batas?

Tiba-tiba aku teringat kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir. Nabi Musa muring-muring, gara-gara Nabi Khidir membocorkan perahu, membunuh seorang pemuda, dan membetulkan dinding rumah tanpa minta dibayar sepeserpun di sebuah negeri yang kikir dan bakhil. Aduhai, Tuhanku. Hamba-Mu ini terlalu lemah pemahaman. Maka, luaskanlah. Agar, kami memetik intisari pikiran-pikiran Engkau. Ya, Tuhanku. Aku hanya sedang ingin menyelami kearifan itu. Agar, kami kembali ke jalur yang baik lagi benar. []

Share:

5.29.2020

sepulang dari dua pertemuan laut apakah ia masih mengunyah nyala?

bagaimana mula Engkau mengawali denyut?
jika yang Kau pinta bungkam
Membekap hujan
di kepala?

serupa bara
sebelum gerimis

denyut ini
adalah segumpal

dari yang tergetar
dan
ber
putar

betapa temaram ini
memang berdentum-
dentum

tak sabar pulang
dari alang kepalang? (metabolisme2020)

Share:

“Mandiri Menyambut Datangnya Panggilan Kematian’

Kapan datangnya kematian tidak ada yang mengetahui, sebab ia adalah rahasia Allah Swt. Karena itu, kematian harus dipersiapkan. Dengan demikian, saat maut benar-benar telah datang, kita bisa menyambutnya dengan sebaik-baik penyambutan.

Perlu diketahui bahwa bagaimana seseorang itu menyambut kematian, sangat tergantung kepada kebiasaan-kebiasaan kita selama menjalani kehidupan di dunia. Seseorang yang memiliki kebiasaan memaki-maki orang, maka ketika detik-detik ajal telah menjemput ia akan melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Ustad Prof. Dr. KH. Ali Aziz, MA dalam Pengajian Akbar di Masjid Cheng Hoo.

Sebaliknya, jika sepanjang perjalanan hidupnya ia memiliki kebiasaan yang baik, seperti kebiasaan bertasbih, berbuat baik, berdzikir atau bahkan punya kebiasaan membaca ayat-ayat Al-Quran, maka demikianlah pula kelak saat ajal datang menjemput. Ia akan menjemputnya dengan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut, di mana ia akan spontan mengisinya dengan berdzikir atau membaca ayat Al-Quran, katanya.

Ustad Ali Aziz lantas menceritakan salah satu pengalamannya ketika sedang menjenguk seorang pasien di sebuah rumah sakit. Ketika ajalnya menjemput dan kedua matanya mulai menutup, anehnya, dari mulutnya ia masih sempat-sempatnya membaca sebuah surat dalam Al-Quran, yaitu surat Yasin.

Rupa-rupanya, semasa beliaau masih hidup, membaca surat Yasin telah menjadi kebiasaannya sehari-hari. Hal ini ternyata tetap terbawa saat ajal atau kematian menjemputnya, katanya.

 

Melatih Kebiasaan

Setiap hamba tentunya berharap kebaikan dalam menghadapi ajal, sebagaimana seorang pasien yang mati dalam keadaan membaca surat Yasin. Tetapi tentu, tak setiap orang mengetahui langkah-langkah seperti apa untuk mempersiapkan. Menurut Ustad Ali Aziz, pertama-tama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kebiasaan sehari-hari.

Sebagaimana pasien yang wafat dalam keadaan membaca surat Yasin tadi, maka demikianlah kita. Marilah mulai dari sekarang kita biasakan untuk sering-sering baca yasin. Jadikanlah surat Yasin sebagai bacaan sehari-hari. Untuk apa?  Agar sewaktu kita mau meninggal, kebiasaan membaca surat Yasin tersebut dapat muncul sendiri, katanya. 

Ustad Ali Aziz melanjutkan, selain membiasakan sehari-hari membaca surat Yasin, bisa juga mensehari-harikan membaca kalimat-kalimat tauhid. Kita bisa melafalkan kalimat-kalimat tersebut di mana pun kita berada dan beraktivitas. Dengan demikian, saat ajal datang, spontanitas mulut kita pun melafalkan dzikir-dzikir kalimat tauhid.

Lakukan dalam aktivitas apapun kita. Ketika sedang jalan-jalan pagi, jadikanlah irama jantung berderak kalimat tauhid. Ketika sedang memasak, jadikanlah irama jantung berderak kalimat tauhid. Ketika sedang kumpul-kumpul, jadikanlah irama jantung berderak kalimat tauhid, katanya.

Di zaman sekarang yang serba gadged, lanjutnya, banyak orang yang mengabaikan waktu, yaitu dengan hanya menghabiskan waktu dengan gadgednya. Bahkan, ketika sedang kumpul-kumpul pun, masing-masing sibuk dengan gadgednya. Padahal, waktu-waktu tersebut bisa dimanfaatkan sedemikian baik dengan banyak berdzikir.

Jika kita memiliki waktu-waktu kosong, mari isi dengan membaca surat Yasin, kalimat-kalimat tauhid. Jangan lupa kalimat lailahaillah itu maknanya lebih besar dari alam semesta dan  isinya, katanya.

Sisi lain yang sangat penting dari melatih kebiasaan-kebiasaan beribadah di mana saja tersebut, jelas ustad Ali Aziz, tak lain agar kita memiliki kemandirian dalam menghadapi kematian kapan pun datangnya. Kita tak lagi menggantungkan diri pada orang-orang terdekat kita untuk mengingatkan atau mengajak kita untuk melafalkan kalimat tauhid.

Sebab apa? Kapan waktu kematian tidak ada yang tahu, kecuali Allah saja, katanya.  

 

 

 

Share:

KH. Zainuddin Husni , ‘Jalan Takwa yang Hakiki’

Keimanan dan ketakwaan seorang hamba atas Tuhannya sesungguhnya bisa dirasakan melalui terjaganya lisan maupun perbuatan. Buahnya adalah rasa aman dan ketentraman di mana pun lingkungan ia berada.

Kondisi demikian hanya bisa dicapai jika seorang hamba mampu mengamalkan ritual-ritual ibadah secara kaffah atau bersifat totalitas. Hanya saja, sebagian orang, adakalanya melakukan ritual ibadah hanya melibatkan lahiriahnya semata, tetapi batinnya tidak ikut diikutsertakan. Walhasil keberkahan ibadah bisa tidak berbekas

 “Misalnya, ada di antara kita yang menjalankan ritual-ritual ibadah secara istiqamah, shalat wajib maupun sunnahnya lengkap, namun lisan maupun perbuatannya masih saja tetap senang menjatuhkan orang lain. Masih saja suka membicarakan aib orang lain di hadapan yang lainnya,” demikian dikemukakan oleh KH. Zainuddin Husni dalam pengajian akbar dwi bulanan yang rutin digelar takmir Masjid Cheng Hoo.  

Ditambahkan Kiai Zainuddin, hal tersebut bisa terjadi dikarenakan terjebak hanya fokus melakukan ritual-ritual keagamaan, tanpa merasa perlu mendalami artinya dalam kehidupan yang nyata. Karena itu, adalah sangat penting untuk menyelami ajaran agama secara menyeluruh.

“Sehingga, kita tidak hanya paham kulit luarnya saja, tetapi juga dapat memahami isi atau maknanya sekaligus,” katanya.

Karena itu, tambahnya, setiap muslim harus mau belajar untuk menambah ilmu-ilmu agama sampai menemukan inti sarinya. Menurutnya, ada banyak jalan agar antara ritual ibadah bisa menyatu dengan kualitas maknanya. Di antaranya adalah dengan menghadiri majelis-majelis taklim atau dekat dengan para ulama, sehingga wawasan spiritual keagamaan pun semakin bertambah. 

“Dengan demikian, selain menguasai kandungan maknanya, kita pun dapat mengetahui bagaimana cara untuk mengamalkannya secara tepat dan benar dalam kehidupan nyata,” katanya.

Kiai Zainuddin lantas mencontohkan nilai-nilai dasar yang diberikan oleh Allah terhadap diri manusia yang memiliki sifat fitrah lupa dan bisa melakukan kesalahan. Di sisi lain, hanya Allahlah yang menyatakan memiliki kesempurnaan tanpa cela.

“Bahwa yang namanya manusia, adakalanya ia memang tidak bisa luput dari kesalahan atau kekeliruan. Melihat orang lain berbuat keliru, kita tidak lagi terlalu gampang mengeluarkan ucapan yang dapat melukai atau menjatuhkan. Menyadari bahwa Allahlah yang memiliki kesempurnaan maka lisan maupun perbuatan dengan sendirinya akan terjaga dari hal-hal yang jelek,” katanya.       

Maka, lanjutnya, ketika seorang hamba sedang menghadap kepada Tuhannya dalam kewajiban shalat lima waktu, maka harus pula melibatkan pikiran maupun batinnya yang mana harus sepenuhnya tunduk dan ikhlas, memasrahkan segalanya untuk mengakui sifat-sifat kehambaannya yang lemah dan tiada daya kepada yang Mahakuasa.

“Hadirkan dan libatkan hati yang ikhlas dan niat yang tulus, yaitu hanya demi meraih ridhanya Allah. Cintanya Allah. Dan benar-benar mengharap pengampunannya Allah atas semua kelemahan kita sebagai seorang hamba. Di hadapan Allah, jiwa-raga kita tunduk atas segala kemaha-besaranNya dalam setiap peristiwa kehidupan,” katanya. 

Kesadaran sebagai seorang hamba yang lemah dan bisa melakukan kekeliruan kapan saja tanpa disengaja, jelas Kiai Zainuddin, selanjutnya akan mampu menimbulkan sifat dan sikap rendah hati dan mudah memaafkan kepada siapa saja, tidak memandang pangkat atau kedudukan. Sebab di hadapan Allah, semua makhluk sama derajatnya.

“Nah, sebagian kita, masih memandang ritual ibadah dari segi lahiriahnya. Padahal yang Allah nilai, terutama adalah keterlibatan batin kita dalam beribadah. Sikap kita dalam sehari-hari. Maka, jika saja di saat shalat misalnya, tetapi batin kita tidak benar-benar tunduk dan ikhlas melakukannya. Makanya, wajar jika manfaat shalat tidak menimbulkan bekas sama sekali,” katanya.

Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support