menulis dengan jernih

  • Cinta tak Lantas Jodohmu

    Amel langsung senyap. Tak ada suara dari mulutnya. Tiba-tiba kudengar ia sesunggukan. Kuangkat kepala. Oh Tuhan. Kok dia yang malah menangis? Meskipun diriku lelaki, tetapi soal patah hati, lelaki juga punya hak yang sama untuk menangis bukan?

  • Pengasuh Anak Kami

    Aku dan suami akhirnya memutuskan mengambil pembantu yang dapat mengasuh anak ketika kami sedang sama-sama bekerja. Dari info seorang teman, kami dapat pengasuh yang cocok. Usianya masih muda, sekitar sekitar 20 tahunan. Namanya Ipah.

  • Dear Mantan

    Rasaku padamu. Saat melihatmu kembali. Telingaku bisa sekali lagi mencecap rindu, di sela-sela suaramu. Tubuhmu. Juga bau parfum yang semerbak dari busanamu. Tetap sebagaimana yang dahulu itu. Membuat gerbang silam lebar terbuka.

  • Salam Ala Kucing

    Aneh juga. Masak kucing bisa mengucap salam? Tetapi begitulah adanya. Kucing juga makhluk yang punya rasa sosial. Jika terlihat pendatang baru, mereka saling uluk salam. Kulunuwum sek rek...

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

2.09.2020

SALAM ALA KUCING

Aneh juga. Masak kucing bisa mengucap salam? Tetapi begitulah adanya. Kucing juga makhluk yang punya rasa sosial. Jika terlihat pendatang baru, mereka saling uluk salam. Kulunuwum sek!


Suatu waktu. Saya mendapati seekor kucing warna hitam mulus dikeluarmasukkan anak-anak ke dalam bak air. Kucing itu basah kuyup. Kayak tinggal tulang. Tiap hari saya melihatnya selalu dibuat mainan anak-anak.

Karena kasihan saya membawanya pulang. Niatnya cuma membantunya hidup. Jika sudah besar saya berniat melepaskan ke alam bebas. Saya bukan pecinta kucing, tapi
terkadang muncul rasa kasihan juga. Usianya kurang lebih dua bulanan.

Satu bulan saya biarkan dia di dalam rumah. Setelah itu, baru saya bebaskan keluar dan bermain apa saja. Sengaja saya buat begitu. Satu bulan agar dia mengenal tempat tidur, makan, buang kotoran dan kenal orang yang mengasuhnya.

Sengaja juga saya lepaskan. Dia harus kenal dunia kekucingannya sendiri. Di luar dia bisa belajar ilmu kekucingan dari sesama kucing. Gimana cara bertahan hidup tanpa makanan. Cara bergaul dan cara bersopan-santun sesama kucing.

Begitulah. Kadang dia bisa seharian di luar. Malam baru pulang. Kadang sehari-semalam dia belum kembali juga. Dia gembira karena di depan rumah ada tiga ekor kucing yang sebaya dengannya.

Pernah saya pulang kampung selama empat hari. Khawatir juga sebenarnya. Tapi saya pikir dia sudah cukup melalui berbagai pelatihan. Betul saja. Ketika kembali, dia langsung berlari cepat begitu melihat motor saya lewat. Hebat. Ditinggal empat hari dia tetap segar bugar. Malah tambah gesit.

Salam Ala Kucing

Di usia 4 bulan, saat saya lepas bebas bermain di mana pun, ada kejadian aneh. Di depan rumah, sejumlah kucing menghampirinya. Mereka menyorongkan mulutnya seperti mengendus-endus. Ada yang langsung pergi begitu saja. Ada juga yang mengeluarkan suara seperti geremengan. Seperti suara mengaum ala kucing.

Ada juga yang ekstrem. Sehabis mengendus mulut, kaki depannya langsung terangkat. Melayang ke arah wajah kucing hitam. Dan, plakk. Wow, ternyata kucing itu rupanya menampar. Busyet. Sepertinya si kucing merasa kucing hitam tidak punya rasa sopan santun. Datang ke wilayah baru kok tidak sowan-sowan dulu sama yang embaurekso!

Itu membuat saya tertarik. Saya biarkan saja. Dia harus belajar mandiri. Harus paham dunia gaul perkucingan. Sekiranya keterlaluan, saya baru turun tangan seperlunya.

Beberapa kali menyimak fenomena itu, saya jadi manggut-manggut. Rupa-rupanya seperti itulah cara kucing memberi salam jika muncul pendatang baru.

Share:

Sekelebat Tuan Datang

Kucing itu diam-diam sakti. Ia bisa muncul mendadak, padahal jelas-jelas di sekeliling, si kucing sama sekali tak tampak batang hidungnya. Ini terjadi berkali-kali.

Karena pulang malam, saya cari si hitam di sekeliling. Tidak ada. Namun begitu saya melihat ke bawah, si hitam sedang asyik membersihkan kakinya. Kaget tentu saja. Lampu sangat terang. Tak ada tempat baginya lolos dari pandangan mata saya.

Muncul rasa ngeri juga. Apalagi ini bukan yang pertama. Sudah berkali-kali. Pernah saya sengaja lakukan eksperimen. Saking penasarannya. Saat saya merasa dia tidak ada, mata saya awas mengamati. 

Tapi yang terjadi ya begitu itu. Tepat saat saya berbalik badan, si hitam sudah asyik berebah badan. Seolah-olah sedang tak terjadi apa-apa. Seakan-akan, dia berbaring di situ sudah sangat lama.

Gila. Lama-lama merinding juga dibuatnya. Lha warnanya aja hitam mulus nian begitu. Pastilah ada kekeramatan di balik bulu warna hitamnya itu. Ya boleh jadi, warna hitam menyimpan mitos khusus tersendiri? Entahlah.

Sekelebat Mata
Berkali-kali kejadian, saya pun terbiasa. Tak lagi kepikiran. Ya meski rasa merindingnya masih terasa juga. Ya anggap saja warna hitam itu keramat. Selesai. Malas mikir berkepanjangan.

Hanya saja, ibarat pepatah sepintar tupai melompat pasti jatuh jua. Suatu hari, saya pulang dini hari. Maklum lembur. Saya matikan motor sesaat tiba di rumah. Sembari bersiap membuka kunci pagar, samar-samar mata seperti menangkap sesuatu yang meluncur sangat cepat dari kejauhan. 

Saya terpana. Saking cepatnya, sesuatu yang amat cepat sekali meluncur itu terlihat bak lesatan roket terbang. Wussss. Wusss. Lesatan itu kemudian jauh lebih jelas kelihatan begitu jarak hampir dekat. Bah, ternyata si hitam. Mantab!

Jadi begitu ceritanya kalau kucing sedang berlari. Kecepatannya sungguh tak terduga. Asyiknya, karena saat ia berlari sama sekali tak kedengaran ada suaranya. 

Gemesnya, itu kucing begitu sampai, duduk dengan santainya. Nggak ada ngos-ngosannya. Halus sekali gerak cepatnya. Ia duduk tenang. Tanpa merasa ia baru saja duduk di situ. Bah kau itu Cing!
Share:

Keajaiban Kucing

Beberapa pekan ini binatang bernama kucing membuat saya merasakan sisi lain bernama keajaiban Tuhan. Selama ini barangkali keajaiban macam itu bagaikan mitos belaka dari yang pernah saya dengar dan saya baca sejak usia kanak.


Kejadian ini bermula dari datangnya satu ekor kucing ke kantor. Kucing tersebut rupanya menarik perhatian anak-anak yang tinggal di yayasan. Entah karena sifat dasar manusia yang penyayang, anak-anak tersebut kerap menyisakan tulang ikan dan makanan pada kucing ini. Kadang mereka sembari mengelus-ulusnya.

Maka kucing itu pun senang bercanda dengan anak-anak. Suatu saat datanglah satu ekor kucing lagi. Hanya selang beberapa minggu kucing yang tiba belakangan tersebut hamil. Saat melahirkan ia mencari tempat yang nyaman. Ndilalahnya yang ditempati malah lemari baju anak-anak. Pengurus membuatkan tempat kardus yang diberi kain. Tetapi si induk memindah-mindahkannya. Terakhir ia pindah di ruang kosong yang berada di belakang kantor.

Kejadian berikutnya, anak-anak kucing tersebut ada yang mengambil. Entah siapa. Sisa dua kucing saja. Si induk sepertinya alami stres. Ia meninggalkan sisa anaknya begitu saja. Beberapa hari lamanya si kucing kecil yang masih fase menyusu itu hidup tanpa induk. Mereka kebingungan. Teriakan meongnya tak berhenti. Hal ini kembali menarik perhatian sejumlah anak. Ada yang menimang-nimangnya. Ada juga yang membagikan sisa ikan yang mereka miliki. Tapi si meong selalu ogah. Ya maklum mereka tahunya kalo makan ya menyusu.

Saya tak berhenti mengamati segala suasananya. Salah seorang teman lantas membuatkannya tempat yang nyaman dan memberikan susu. Lahap sekali anak-anak kucing tersebut meneguknya. Saya mencobanya memberikan ikan laut. Dia tidak tertarik. Dan kembali meongnya keras terdengar. "Ibunya lari. Dia tak bertanggung jawab mas," kata anak-anak. Logatnya terasa lucu.

Saya terbahak. Tapi memang kasihan. Dua anak kucing tersebut masih belajar berjalan. Juga belum mengenal caranya makan selain susu ibunya. Meski sudah disuapi ia tetap emoh. Ia baru mau makan setelah benar-benar kelaparan. Mula-mula ia sekedar menyesapnya, baru setelah itu ia telan. Dua hari kemudian, dua ekor kucing ini sudah mau belajar makan ikan. Meski beberapa kali lewat, namun si induk seolah sama sekali tidak menggubris keberadaan anak-anaknya.

Seminggu saya memberinya makan ikan yang dicampur nasi. Di kala haus, baru anak kucing ini mau minum. Saya arahkan mulutnya mencicipi air. Lama-lama mereka jadi tahu kalau haus ya harus mendatangi wadah air minum yang saya taruh di dekat mereka tidur. Demikian juga, mereka mulai mengerti kalau lapar harus mendatangi ikan yang saya taruh. Cukup seminggu mereka sudah menguasai begini lho kalau haus dan lapar, maka minum dan makanlah, ha ha. Sehari selanjutnya, saya lihat ada anak kucing satu lagi.

Usianya kira-kira masih sebaya. Heran juga darimana datangnya. Meongnya lumayan keras. Cukup bikin gemes juga. Lucu dan imut. Bulunya hitam, dominan warna kuning. Nah. Masalah muncul ketika datang hari Minggu. Tentu anak-anak kucing ini tidak ada yang ngurus memberinya makan dan minum. Bingung juga saya. Saya putuskan menaruh sejumlah ikan dan wadah air yang cukup di dekat mereka. Minimal mereka mampu bertahan sehari-semalam. Senin pagi, setiba di kantor saya tengok mereka di halaman belakang. Raib.

Anak-anak kucing itu raib dari tempatnya. Waduh, batin saja. Kemana mereka? Meski begictu saya sudah mengajarinya cara bertahan hidup. Meski saya memberinya makan, zebisa mungkin saya melatihnya gaya kucing jalanan. Ya karena mereka nantinya pasti akan berada di jalan sebagaimana induknya. Saya berharap anak-anak kucing itu sudah bisa mencari makan sendiri. Tetapi kejadian berikutnya cukup ajaib. Saya menemukan anak-anak kucing tersebut tertidur pulas di lokasi lain. Dipeluk erat induknya lagi!

Ketika bangun, dua ekor kucing itu matanya sangat bersih berikut bulu-bulunya. Gerakannya lincah. Induknya melonggarkan dua kaki depannya, meraih dua anaknya. Dipeluknya mesra. Seakan tak mau dilepasnya lagi. Keduanya lantas menyusu. Saya geleng-geleng kepala. Gesekan kaki saya yang menabrak batu mengagetkan mereka. Dua anaknya melepas susuan. Mereka mengamati saya. Celingak-celinguk memandang saya dari atas sampai bawah. Dan, ajaib!

Begitu melihat saya, keduanya sontak berlompatan berlarian menghampiri saya. Busyet. Mereka juga melompat berusaha naik melalui kain celana. Cakarnya kuat memegang kain. Dan, berhasil. Berhasil melompat ke tas dan duduk di situ, sembari mengeluarkan suara meong yang cukup khas. Saya langsung tertawa. Tingkahnya di luar dugaan. Kucing-kucing kecil yang luar biasa. Apalagi ketika meong lirihnya diikuti tatapan mata yang lucu. Seakan memberitahu rasa gembira. Saya taruh kembali ke induknya. Mereka kembali menyusu.

Yang menarik adalah perlakuan si induk pada si kuning. Meski bukan anak kandungnya, si induk justru memperlakukan sama dengan anaknya yang lain. Bahkan, beberapa kali si induk menggotongnya kembali ke pangkuannya. Ini terjadi ketika si kuning berjalan agak jauh, dia meong keras. Rupanya ia masih panik. Begitu didekap si induk, suara meongnya pun mereda. Luar biasa, meski bukan anak sendiri, tetapi si induk begitu penuh perhatian.

Sedang anak-anaknya bebas bermain. Tak alami kondisi panik seperti si kuning, mungkin kehadiran si induk membuatnya merasa aman dan tenang. Apalagi memang ia sudah kenal lingkungannya, sedang si kuning belum sama sekali. Maka tiapkali berjalan agak jauh dia langsung celingak celinguk kebingungan. Halaman belakang kebetulan juga berdekatan dengan masjid warga. Tiap sore ramai anak-anak belajar ngaji. Suara meong anak-anak kucing menarik perhatian mereka juga. Sering mereka mengajak bercanda si kucing kecil.

 "Hoi, awas. Lihat itu di belakangmu, ntar keinjek!" Begitu kadang suara yang terdengar dari mereka. Tak jarang di antara mereka memarahi temannya yang berlebihan. "Ojo ngawur kon. Mau dibawa kemana? Balikin ke tempatnya. Kan kazihan dicari-cari sama mboke!" Ha ha ha. Saya ngakak sendiri dengan polah polos anak-anak itu. Saya bukanlah pecinta binatang. Tetapi melihat bayi kucing yang masih sama sekali belum mandiri bertahan hidup, membuat saya tak ingin melihatnya mati begitu saja. Kadung ada di hadapan mata ada kejadian macam itu.

Saya juga teringat, kucing termasuk binatang kesayangan Nabi saya, Rasulullah Muhammad Saw. Karena itu, saya berusaha merawat sebusa mungkin. Minimalnya, jika sudah cukup usianya, yaitu usia mereka sudah tahu caranya bertahan hidup. Saya amati mereka punya cara sendiri dalam bertahan. Beberapa hal istimewa saya catat dari pengalaman bersama kucing tersebut; pertama, kembalinya sang induk. Saya menduga, di hari Minggu yang tak ada orang, dan tak tersedia makanan sama sekali anak-anak kucing itu pastilah kelaparan.

Bisa saja, suara-suara lapar mereka mampu memancing naluriah keibuan sang induk. Dan pastinya juga mampu memulihkan kesedihan kehilangan beberapa anaknya. Kedua, kepedulian besar sang induk pada anak yang bukan kandungnya, yaitu si kuning. Bahkan tiap kali si kuning panik dan bingung, si induk segera bergegas, dan membawanya ke dalam dekapannya. Sungguh ajaib. Hewan pun naluri keibuannya luar biasa peka! Ketiga, perhatian anak-anak kecil juga sama ajaibnya bagi saya. Kepedulian dan empatinya itu lho. Kuat.

Saya jadi sadar fitrahnya manusia ya cinta. Kasih dan sayang pada semua makhluk. Allahu Akbar.

Share:

Kucing Kota

Si hitam, sejak menginjak usia remaja tampak mulai kurang betah berlama-lama di rumah. Ia lebih senang berkelana di luar. Mula-mula sehari, dua hari hingga tiga hari tidak pulang-pulang. Begitu usia dewasa, bisa empat hari baru pulang. Namun belakangan ini dia jadi aneh. Ia tampak lelah dan pesimis. Mulai malas berkelana.

Sering bola matanya menatap saya. Seakan ingin bertutur galau. Tentang betapa beratnya bertahan dan berjuang hidup di luaran. Si hitam sudah pernah ada luka di kaki dan punggungnya. Entah apa sebabnya. Boleh jadi dipukul orang, bisa jadi juga sebab jatuh, karena ia mulai hobi manjat pohon atau naik ke atap-atap rumah warga kampung. Bahkan, pernah sekali waktu ia nongol di depan pintu. Seekor burung kecil tercengkram di mulutnya. Beh, busyet dah. Bikin kaget saja.

Si hitam memang saya latih hidup mandiri di mana pun. Bukan apa-apa, saya bukanlah pecinta kucing. Namun terkadang nggak tega juga jika ada anak kucing sendirian, diusilin anak kecil, dan kebingungan di jalan. Jadi sejak awal memang hanya berniat mengantarkan si kucing sampai ia bisa cari makan sendiri.

Entah, apa ada perbedaan kehidupan antara masa remaja kucing dan masa dewasanya. Tetapi yang saya amati, kucing remaja sepertinya cenderung disukai orang. Buktinya si hitam waktu remajanya sering digendong-gendong orang. Ketika sudah dewasa, si hitam tampak perubahan.

Jadi, sekarang kalau sudah kedengaran suara motor saya, cepat-cepat ia bergegas menghampiri. Saya biarkan saja dia tidur-tiduran di ruang tamu. Sesekali dia ke dapur mencari minum. Kebetulan kotak minumnya selalu saya isi. Meskipun sudah dikasih makan, ia biasanya langsung ngibrit entah kemana, kali ini ia memilih leyeh-leyeh depan pintu.

Kucing kota sepertinya memang penuh dilema. Tikus sebagai mangsa utamanya, namun nyatanya sulit untuk menemukan kucing kota yang memburu tikus kemudian dilahapnya. Kalau pun ada tikus berkeliaran, mereka hanya melirik saja sekilas. Selebihnya, ia cuek bebek saja. Para kucing kota setahu saya mencari makan di bak-bak sampah. Anehnya, khusus di kampung saya berdiam, semua kucing terlihat sehat, rapi dan bersih bulu-bulunya.


Kucing-kucing yang tampak berantakan justru yang berkeliaran di pasar-pasar. Bulu-bulunya kumuh dan kotor. Tentu, keberadaan mereka memprihatinkan. Namun begitu, tiap-tiap makhluk memiliki takdir dan keunikan hidupnya masing-masing. Kita tidak bisa mengharap semua orang memberikannya perhatian. Sama seperti saya, hanya sekedar menjadi perantara kecil untuk membantu mereka belajar memperjuangkan takdir kehidupannya.
Share:

Terbaru

Terbaru

Unordered List

Pages

Sample Text

Theme Support